Kamis, 29 Juli 2010

Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahar berhasil menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua, yang dikuasai Sultan Johor

Jumat, 11 Juni 2010 | 09:38:32
Perjalanan Sultan Alaudin Riyah Syah Al Qatar, kakek dari Sultan Iskandar Muda ternyata banyak meninggalkan situs sejarah di Asahan yang terlupakan oleh Pemkab Asahan. Padahal jika saja situs sejarah asal usul Kerajaan Asahan dipertahankan, bukan tidak mungkin ini akan bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Asahan. Salahsatu situs sejarah yang sama sekali dilupakan Pemkab Asahan adalah makam tua di Kecamatan Pulau Raja yakni makam Sultan Asahan pertama yakni Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah.

KISARAN,sumutcyber-Sampai tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu yang struktur kerajaannya tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka pada masa itu. Namun pada tahun 1946, sistem kerajaan di Asahan telah digulingkan oleh sebuah pergerakan anti kaum bangsawan dalam sebuah revolusi berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. Kesultanan-kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Deli, Langkat, Serdang, Kualuh, Bilah, Panai dan Kota Pinang juga mengalami nasib serupa.

Kepada METRO grup sumutcyber sejarawan Asahan Zasnis Sulung mengatakan, kondisi makam Sultan Asahan pertama ini sangat memprihatinkan. Di mana semak belukar tampak tumbuh subur di areal makam Raja pertama Kesultanan Asahan tersebut. Bukan hanya itu, saat ini makam yang telah berusia ratusan tahun itu kini terancam hilang akibat abrasi yang terjadi akibat tanah di lokasi makam telah terkikis aliran Sungai Asahan.

Zasnis menilai selama ini Pemkab Asahan tak peduli untuk menggali dan melestarikan budaya sebagai cikal bakal peradaban masyarakat Asahan tersebut. Padahal begitu banyak situs dan cagar budaya peninggalan peradaban masa lalu Asahan, yang terbengkalai dan pupus dimakan zaman, karena tak tersentuh pemeliharaan dari Pemkab Asahan.

Selain dapat meningkatkan PAD, jika situs sejarah ini dirawat dengan baik maka akan dapat meningkatkan ilmu pendidikan bagi para generasi muda di Asahan.

Adapun situs dan cagar budaya Asahan yang terbengkalai selama ini, misalnya lokasi kerajaan Tao dan Asia Muka di Pulau Maria, Teluk Dalam yang berdiri pada abad ke-1 Masehi. Lokasi kerajaan P’oli dan makam-makam tua di Sipule-pule Air Batu abad ke 6 Masehi. Lokasi kerajaan Simargolang dan makam-makam tua di Dolok Maraja, Marjanji Aceh dan Pulau Rakyat Tua, abad ke 14 Masehi. Lokasi koloni Jawa Hindu di Gua Kanili (Batu Kanihir), Aek Kopas, Bandar Pasir Mandoge, abad ke 14 Masehi. Lokasi kerajaan Kesultanan Asahan di Tangkahan Sitarak (Pulau Raja). Makam Puteri Ungu, Raja Aceh Sultan Alauddin Riyat Syah dan Sultan Asahan Pertama, Abdul Jalil Rakhmad Syah, yang juga sebagai orang pertama pembawa agama Islam masuk ke Asahan abad 15 Masehi yang berlokasi di masjid Pulau Raja Pekan.

Kehadiran Raja Aceh, Sultan Alauddin Riyat Syah Al Qahar (Sultan Alaidin Mahkota Akam Johan Berdaulat) yakni Sultan Aceh ke XIII (1537-1568 M) ke Sungai Asahan yang menjadi awal berdirinya Asahan. Jika diinterpretasikan, ada dua versi yang mengundang kedatangan raja Aceh itu pada tahun 1540 Masehi lalu. Menurut versi legenda, armada laut kerajaan Aceh itu mendarat di Asahan untuk mencari Puteri Hijau yang lepas dari tangkapan panglimanya di Kuala Deli (Belawan), sehingga menyisir pesirir pantai Sumatera Timur hingga sampai ke Sungai Asahan. Tapi mereka gagal menemukannya.

Versi kedua adalah fakta sejarah, yang meceritakan setelah Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahar berhasil menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua, yang dikuasai Sultan Johor, tahun 1539 Masehi, maka sekitar tahun 1540 Masehi, Sultan Aceh telah membawa armada lautnya yang sangat besar untuk mengejar Sultan Johor yang melarikan diri dari Deli Tua. Tapi Sultan Johor gagal ditemukan, karena telah berlayar kembali ke negerinya Johor melalui pantai Kuala Tanjung.

Karena gagal menemukan musuhnya Sultan Johor, maka Raja Aceh dan rombongan angkatan perangnya telah memasuki Sungai Asahan yang tak berpenghuni sejauh tiga tanjung arah ke hulu. Mereka telah beristirahat di Dusun Persembahan, sekarang masuk wilayah Desa Sei Paham, Kecamatan Sei Kepayang. Dan di tempat inilah para serdadu kerajaan Aceh itu menemukan sejenis rumput berdaun lebar dan berbulu keras yang bisa dipergunakan untuk mengasah dan membersihkan karat-karat yang melekat pada keris, pedang, tombak, lembing, dan meriam yang berkarat akibat pengaruh air laut yang asin.

Peristiwa itu diprediksi terjadi tahun 1540 M, atau setelah raja Aceh menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua. "Untuk mengetahui tanggal dan bulannya, sebaiknya dibentuk sebuah tim kebudayaan untuk melakukan penelitian ke Nangroe Aceh Darussalam (NAD), atau meminta bantuan para pakar sejarah Melayu dan Aceh, di saat kapan kira-kira raja Aceh Sultan Alauddin Riayat Syah melakukan penyerangan ke Johor setelah melakukan peperangan di Deli Tua," kata Zasnis Sulungs.

Akhirnya Raja Aceh menamakan rumput ini dengan nama rumput "asahan" dan bibit-bibit rumput itu telah mereka ambil sebanyak-banyaknya untuk ditanam di negeri Aceh.

Ketika agak bingung karena tak menemukan orang di hilir sungai yang berarus deras dan jernih ini, tiba-tiba Raja Aceh melihat beberapa tungkul jagung bakar dan kulit cempedak hanyut dari hulu ke hilir. Menurut raja Aceh, ini membuktikan keberadaan manusia di bagian hulu sungai jernih ini. Lalu ia memerintahkan para hulubalangnya untuk berangkat ke hulu dengan membawa sekoci, untuk mencari warga yang ada di daerah ini untuk mengetahui apakah negeri ini mempunyai seorang raja berdaulat.

Ketika para hulubalang kerajaan Aceh itu berlayar ke hulu, mereka menemukan kampung bernama Tualang di tepian sungai itu. Kemudian hulubalang Aceh tersebut bertemu dengan orang bernama Sibayak Lingga marga Karo-karo, yang bertugas sebagai hulubalang Raja Simargolang dari dinasti ke III, yang ketika itu bersemayam di Huta Bayu, sekarang Pancuran Raja, Desa Rahubing, Kecamatan Rahubing.

Dalam pertemuan tersebut, utusan raja Aceh telah meminta Sibayak Lingga supaya membawa rajanya Simargolang menemui raja Aceh yang sedang menunggu dihilir sungai itu. Karena itu Sibayak Lingga langsung berlayar ke hulu sungai itu untuk menemui Raja Simargolang.

Tapi celakanya Raja Simargolang merasa enggan dan takut menemui Raja Aceh yang perkasa itu, mengingat ia tidak bisa berhasa Melayu atau Aceh dan bahasa yang dikuasainya hanya bahasa Batak Toba. Demikian juga dengan para keluarga raja dan putera mahkota raja Simargolang, tak satupun yang sudi menemui raja Aceh, juga karena merasa takut.

Setelah melalui rapat kerajaan di sopo godang, maka diputuskanlah orang yang pantas mewakili raja Simargolang menemui raja Aceh terebut, hanyalah hulubalang Sibayak Lingga, terlebih karena ia bisa berbahasa Aceh, Melayu, Karo dan Batak. Maka ketika itu juga Sibayak Lingga dihiasi dengan pakaian adat kebesaran kerajaan Simargolang, sehingga penampilan sangat gagah berwibawa. Dengan diiringi beberapa pengawal, lalu mereka berangkat ke hilir menemui raja Aceh dengan mempergunakan kapal kerajaan yang dihiasi dengan megah.

Ketika sampai ke kapal kerajaan Aceh, maka Sibayak Lingga langsung dibawa para hulubalang menghadap Sultan Alauddin Riayat Syah. Dan Sultan Aceh itu telah menyambut Sibayak Lingga dengan sukacitanya, karena ketika itu Sibayak Lingga telah membawa barang-barang persembahan kiriman Raja Simargolang, berupa beberapa kain ulos, duplikat tungkat tunggul panaluan dan pedang pusaka.

Ketika itu raja Aceh bertanya kepada Sibayak Lingga, apa nama negeri tempatnya tinggal ini. Ketika itu Sibyak Lingga menjawab, bahwa nama negeri ini adalah "Pardembanan" (dialek Batak=Tempat makan sirih).

Tapi raja Aceh meminta Sibayak Ligga supaya menabalkan negeri ini dengan nama "Asahan", karena ditemukannya sejenis rumput yang bisa mengasah di tempat ini dan supaya raja Aceh itu bisa mengingat keberadaan negeri ini. Jadi saat raja Aceh menabalkan nama Asahan.

Saat itu raja Aceh bertanya, kenapa masyarakat tidak ada yang membangun perkampungan di hilir sungai yang subur dan indah ini. Lalu, Sibayak Lingga menjawab, karena raja Simargolang dan rakyatnya semua adalah orang gunung, yang hanya bisa bekerja sebagai petani di sawah atau ladang, berburu dan mencari damar dan rotan di hutan. Sedang untuk bekerja dibagian pantai atau menjadi nelayan mereka belum punya pengalaman.

Makanya raja Aceh meminta Sibayak Lingga supaya membangun kampung baru di hilir sungai yang juga telah ditabalkan Sultan Alauddin Riayat Syah dengan nama Asahan itu, supaya memeroleh kemakmuran dan apabila raja Aceh itu melawat ke negeri yang indah ini mudah menemuinya. Setelah memberikan separangkat pakaian kerajaan Aceh berikut sebuah meriam locok yang kecil, dan sebilah rencong berhulu gading, maka raja Aceh mengucapkan kata perpisahan. Dan setelah bersusun sembah Sibayak Lingga pun turun dari kapal kerajaan Aceh itu dan kembali ke istana Simargolang.

Sedangkan raja Aceh dengan armada lautnya yang besar itu telah meninggalkan Sungai Asahan menuju negeri Johor di semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan telah melakukan peperangan hebat di sana. Tempat pertemuan raja Aceh dengan Sibayak Lingga tersebut, kemudian hari dinamakan kampung Persembahan, disebabkan Sibayak Lingga pernah menyampaikan persembahan kepada raja Aceh di tempat ini. Tak lama kemudian Sibayak Lingga pun memohon izin kepada Raja Simargolang untuk menunaikan perintah raja Aceh, membangun perkampungan baru di hilir Sungai Asahan itu, yang kemudian kampung itu dinamakan kampung Tualang, sekarang berada dalam areal perkebunan PT Padasa Teluk Dalam. Kenapa dinamakan kampong Tualang, karena di tempat ini ditemukan sebatang kayu Tualang (kayu raja) yang sangat besar, dan pada saat ini telah tumbang dan yang tertinggal sekarang ini hanya tunggulnya sepanjang sekitar 4 meter, yang menurut masyarakat di tempat itu terbilang angker. Karena beberapa orang pekerja perkebunan dimasa lalu sudah pernah hilang raib tak berkesan di tempat ini. (Syafruddin Yusuf, )

Sumber: sumutcyber

Pelukis Hardiman Wisesa kelahiran Delitua dalam karya Pesona Danau Toba

Oleh : Dr. Agus Priyatno, M.Sn

Pesona Danau Toba tiada habisnya, jika dilihat dari perbukitan Tele atau dari Lembah Bakara, semua menawarkan keindahan tiada tara. Bahkan ketika kita melihatnya dari dekat, menelusuri perkampungan yang mengitarinya. Ada rumah tradisional, angsa, teratai, ikan-ikan berenang, semua terpadu dalam harmoni alam yang sempurna.

Keindahan Danau Toba sepanjang masa. Saat matahari terbit hingga matahari tenggelam dan saat matahari tenggelam, hingga matahari terbit kembali. Panorama langit penuh nuansa warna tembaga, saat wajar menyingsing atau saat matahari tenggelam di cakrawala. Warna-warna membias terpantul dari air danau jernih bercahaya. Perahu-perahu kecil menghidupkan suasana. Panorama berubah menjadi warna-warna biru dan awan putih siang harinya, terpantulkan oleh air danau bagaikan kemilau kristal dan mutiara. Malam hari, keindahan lampu-lampu di seputar Danau Toba bagikan kunang-kunang terbang di angkasa. Apalagi jika bulan purnama, keindahannya sempurna.

Pesona Danau Toba dan sekitarnya memberi inspirasi para pelukis Medan, untuk mengabadikan keindahannya. Pelukis Hardiman Wisesa, Didi Prihadi, Bambang Triyogo, Agus Opung dan Wan Saad melukiskannya. Mereka pelukis profesional komunitas Sanggar Rowo yang didirikan oleh Muhammad Yatim Mustafa. Pesona Danau Toba semakin tampak indah di atas kanvas mereka.

Keindahan Panorama Danau Toba dalam Lukisan

Pelukis profesional memilih objek paling indah, untuk dilukiskan. Ketika akan melukis, pelukis biasanya melakukan mini riset terhadap objek-objek yang menarik pada suatu kawasan. Pelukis melakukan pengamatan seksama terhadap objek-objek indah yang bisa dilukis. Setelah didapatkan objek-objek menarik untuk dilukis, dipilih pemandangan terindah untuk dijadikan objek lukisan.

Pelukis Hardiman Wisesa melukiskan keindahan panorama Danau Toba saat matahari tenggelam dan pada saat siang hari dari tempat berbeda. Pelukis Didi Prihadi melukiskan keindahan teratai dan Danau Toba dari Lembah Bakara. Bambang Triyogo, Agus Opung dan Wan Saad melukiskan panorama Danau Toba saat cuaca cerah. Kawanan angsa di sekitar Danau Toba juga menjadi objek lukisan Agus Opung. Masing-masing pelukis mengambil objek lukisan dari tempat yang berbeda.

Mereka melukis dengan media cat minyak pada kanvas. Teknik lukisan impasto dengan berbagai variasinya. Lukisan panorama Danau Toba dan perpaduan Lembah Bakara, menghadirkan sensasi keindahan sangat menawan. Lukisan-lukisan panorama Danau Toba yang mereka ciptakan, memenuhi unsur-unsur estetika. Komposisi balans, warna harmonis, ada pusat perhatian dalam lukisan, kiaroskuro atau gelap terang pada lukisan selaras, dan sebagainya. Corak lukisan adalah naturalis, namun ada juga kesan sedikit impresionis, terutama pada goresan cat lukisan Teratai karya Didi Prihadi.

Para Pelukis dan Karyanya

Pelukis Hardiman Wisesa, lahir di Binjai Langkat Sumatera Utara pada 13 Oktober 1970. Pelukis ini kini di tinggal kawasan Tasbi Blok AA-33 Medan. Dia aktif dalam berbagai kegiatan pameran lukisan di Medan dan kota-kota lainnya di Indonesia. Lukisan panorama Danau Toba saat matahari hampir tenggelam di cakrawala, dilukiskan dengan cat minyak pada kanvas berukuran 70x90cm. Lukisan ini dominan warna merah, kuning dan jingga. Matahari di atas perbukitan terefleksikan oleh air danau, perahu melintas di atas danau menjadi pusat perhatian lukisan.

Lukisan lainnya tentang Danau Toba juga diciptakan dengan cat minyak pada kanvas, ukuran 150x200cm. Lukisan saat hari cerah berupa awan putih, langit biru, danau dan perbukitan pada latar depan, terkomposisikan secara balans asimetris. Lukisannya menunjukkan, dia sangat cermat mengamati objek lukisan. Kemilau cahaya dari langit, terpantul oleh air danau menimbulkan nuansa warna biru dan putih. Kontras dan kiaroskuro lukisan terstruktur secara bervariasi secara menarik. Secara keseluruhan, lukisan ini mampu merefleksikan keindahan kawasan yang dilukis.

Didi Prihadi, sarjana seni dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa Unimed, setelah lulus, bergabung dengan Sanggar Rowo sejak 15 tahun lalu. Didi memilih menjadi pelukis daripada menjadi PNS alias pegawai negeri. Pernah memperoleh kesempatan menjadi PNS, tetapi ditinggalkannya.

Lukisan Teratai diciptakan dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 80x100 cm. Lukisan didominasi warna hijau dengan nuansa lembut. Gelap-terang lukisan terstruktur secara bervariasi sangat menarik. Warna merah bunga Teratai menjadi pusat perhatian lukisan, karena beda warna dan beda bentuk.

Goresan kuasnya mengesankan lukisan ini cenderung impresionis. Lukisan lainnya tentang Danau Toba dan Lembah Bakara juga dibuat dengan cat minyak pada kanvas, ukuran 65x95cm. Teknik pewarnaan lukisan mengesankan lukisan impresionisme. Sapuan-sapuan kuas tampak sepontan, unsur-unsur piktorial lukisan, tersusun melalui komposisi warna terkesan impresif.

Bambang Triyogo, lahir 1960. Aktivitas melukis dilakukannya sejak masih tinggal di Tanjung Pinang Riau. Dia memiliki kegemaran melukis, sejak masih kanak-kanak. Selesai menamatkan sekolah, dia kerja di Harian Kompas Jakarta. Pada tahun 1995 bergabung di Sanggar Rowo. Tahun 2005 dia hijrah ke Jakarta dan Bali. Selama di Bali dia menetap di Ubud, bergabung dengan teman-teman pelukis di sanggar ubud. Selama di tempat itu dia memperdalam budaya Bali. Objek tentang Bali, akhir-akhir ini menjadi tema diangkat pada karya-karyanya. Dia juga aktif dalam sejumlah kegiatan pameran lukisan seperti di Medan, Jakarta, Bali dan di luar negeri.

Lukisannya tentang panorama Danau Toba dan Lembah Bakara, dibuatnya dengan cat minyak pada kanvas berukuran 65x95cm. Karya-karyanya diciptakan dengan teknik impasto, sapuan warna tipis-tipis dan lembut.

Agus Opung, lahir di Tanjung Morawa pada 7 Agustus 1978. Daia juga belajar melukis di Sanggar Rowo. Aktif dalam berbagai kegiatan pameran lukisan di Medan dan sejumlah kota lainnya. Lukisan tentang Kawanan Angsa dibuat dengan cat minyak pada kanvas berukuran 90x120cm. Delapan angsa di tepian Danau Toba bercengkerama. Kedelapan angsa berjajar dalam komposisi balans asimetris. Jumlah angsa delapan, bukan tidak disengaja oleh pelukis. Angka delapan berkaitan dengan kepercayaan salah satu etnis di Indonesia, yaitu angka yang diyakini berkaitan dengan keberuntungan dan keberkahan. Lukisan lainnya berjudul "Kampung Bakara" dibuat dengan cat minyak pada kanvas berukuran 65x95cm.

Wan Saad lahir di Delitua pada 14 Agustus1963. Dia berpenampilan nyentrik berambut gondrong dan memiliki delapan anak ini, tinggal di jalan Letda Sujono Gg. Rukun no. 11 Medan. Dia lebih suka di panggil pak Saad daripada bang Saad, meskipun penampilannya menunjukkan semangat muda, yaitu selalu memakai celana jins dan kaos oblong.

Lukisannya tentang Danau Toba dan Lembah Bakara dibuat dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 65x95cm. Teknik lukisannya impasto dengan sapuan warna tipis-tipis, hingga membentuk unsur piktorial. Warna-warnanya cenderung monokrom namun harmonis.

Pelukis dan Kolektor

Lukisan-lukisan panorama Danau Toba dan sekitarnya karya pelukis Medan bisa diandalkan kualitasnya. Mereka menjaga mutu sejak dari pemilihan bahan seperti cat, kanvas, hingga bingkainya. Pemilihan objek lukisan juga dilakukan dengan kesungguhan. Mereka mengunjungi tempat-tempat indah di kawasan Danau Toba. Karya-karya mereka selama ini dikoleksi oleh perorangan, pedagang seni atau masyarakat umum lainnya.

Dahulu Presiden RI pertama Ir. Soekarno sering mengoleksi lukisan karya pelukis-pelukis Indonesia. Lukisan-lukisan itu kemudian di jadikan elemen estetika Istana Negara. Warisan lukisan koleksinya tersebar di Istana Negara Jakarta, Bogor, Yogyakarta dan Tampak Siring Bali. Semua itu dilakukannya untuk membangun kebanggaan Indonesia.

Sejumlah tokoh negarawan lainnya seperti Adam Malik aslinya Sumatera juga banyak mengoleksi lukisan. Pada era Orde Baru, keluarga Cendana (keluarga mantan Presiden Soeharto) juga mengoleksi lukisan, bahkan Sudwikatmono memiliki galeri lukisan pribadi. Pengusaha yang menjadi kolektor lukisan antaralain Ciputra, Oei Hong Djien dan Raka Sumichan. Mereka sangat peduli dengan karya seni dan menghidupi pelukis.

Saat ini era desentralisasi, banyak hal dikelola oleh daerah masing-masing, sudah semestinya Pemerintah Daerah Sumatera Utara, memberi perhatian pada lukisan-lukisan karya pelukis daerahnya. Mengoleksi karya mereka untuk dipajang di kantor-kantor pemerintah seperti Kantor Gubernur dan sebagainya. Jika hal itu dilakukan, bukan saja banyak pelukis semakin sejahtera hidupnya, tetapi kebanggaan akan daerah (cinta Tanah Air) bisa diciptakan melalui lukisan. Semoga.

Penulis; dosen seni rupa FBS Unimed.

Sumber: analisadaily

Ketahuan Mencuri Sepeda Motor, Seorang Pemuda Diamankan Polisi

Delitua (SIB)
Ketahuan mencuri sepedamotor, YS (28) warga Jl Pintu Air IV Gg Sim-Sim, Kelurahan Simalingkar B, Kecamatan Medan Johor ini, diamankan petugas Polsek Delitua, Senin sore (26/7) sekira pukul 16.00 Wib.

Informasi yang diperoleh wartawan menyebutkan sebelumnya korban Afrizal Ginting, warga Jl Bunga Kantil, Cempaka, Kecamatan Medan Selayang sang pemilik sepedamotor, jenis Jupiter Z ini memarkirkan sepedamotornya di depan rumah kakaknya untuk bermaksud memberi makan bebek peliharaannya yang ada di belakang rumah. Namun saat asyik memberi makan ternak bebeknya itu, setahu bagaimana korban melihat tersangka YS membawa sepedamotor kesayangannya itu. Melihat kejadian tersebut, korban pun langsung beteriak maling. Warga yang mendengar kejadian tersebut langsung berdatangan dan melakukan pengejaran.

Mengetahui hal itu, petugas Polsek Delitua yang berpatroli di wilayah itu bersama dengan warga langsung melakukan pengejaran. dan mengamankan tersangka beserta barang bukti berupa 1 unit sepedamotor jenis Yamaha dan satu set kunci T bermata dua ke Mapolsek Delitua.

Kapolsek Delitua AKP Bahtiar Marpaung SH SSos MHum melalui Kanit Reskrim Iptu Hendrik T saat dikonfirmasi wartawan membenarkan penangkapan tersebut. “Tersangka beserta barang bukti telah kita amankan, kasus ini masih dalam pemeriksaan guna proses lebih lanjut,” kata Kanit singkat. (BSK/n)

Sumber: hariansib

Selasa, 27 Juli 2010

Pembangunan Waduk Lau Simeme Deli Serdang Rp 900 M-Rp 1 T Terus Dimatangkan

Medan (SIB)
Pembangunan waduk atau bendung Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) yang diproyeksikan untuk pengamanan siklus banjir 40 tahunan di Kota Medan, Binjai dan Deli Serdang (Mebidang) hingga kini terus dimatangkan.

Megaproyek seluas 200 hektare dengan estimasi (perkiraan) dana senilai antara Rp900 miliar hingga Rp1 triliun itu diakui Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum Ir Iwan Nursyirwan Dipl HE sudah selesai pembuatan detail design (DD)-nya, dan kini dalam proses pematangan rancangan.
“Jadi, proyek Lau Simeme untuk dijadikan waduk itu sedang proses pematangan. Antara lain, kita akan melihat tingkat keamanan waduknya, dan hal-hal teknis lainnya,” ucap Iwan didampingi Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) II Sumut Ir Sulani Sulastri Siregar usai bertemu Gubsu H Syamsul Arifin SE di Gubernuran Medan, Selasa (24/2).

Menurut Iwan, progres pematangan rancangan waduk Lau Simeme juga yang pendanaannya sudah dimasukkan dalam Blue Book Bappenas, akan dicari dari pinjaman luar negeri (Loan).
Sedangkan progres pembebasan lahannya, Iwan mengaku akan dilakukan secara patungan (sharing) antara Departemen PU, Pemprov Sumut dan Kabupaten Deli Serdang. “Skema pendanaan pembebasan lahanya memang belum dibicarkan lebih rinci, tapi kira-kira separuhnya akan ditanggung Departemen PU,” tukas Iwan.
Sebelumnya, Kapala Bidang Fisik dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut Ir Lauren Gultom menjelaskan, setelah pembangunan rampung, maka Waduk Lau Simeme mampu menampung air (reserpoar) hingga 33 juta meter kubik, dengan elevasi (ketinggian) air 253 meter di atas permukaan laut (DPL), dan tinggi waduk mencapai 73 meter dari dasar Lau Simeme.

Menurut analisa Lauren, kehadiran Waduk Lau Simeme itu mampu menyelamatkan Kota Medan dan warganya bersama warga Kota Binjai dan Deli Serdang (Mebidang) dari ancaman siklus banjir 40 tahunan. Bahkan, kehadiran waduk ini juga mampu memperpanjang ketersediaan air PAM (air baku) bagi jutaan warga ibukota Sumut ini bersama warga kota lain disekitarnya, menyusul ancaman krisis air baku pada 2010 yang segera dialami Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.

“Pembangunan W aduk Lau Simeme itu bukan hanya menyelematkan Kota Medan, Binjai dan Deli Serdang dari siklus banjir 40 tahunan, dan menambah ketersediaan air baku PDAM Tirtanadi sebesar 3.700 liter per detik, tetapi juga memberikan jaminan pasokan air untuk jaringan irigasi sawah seluas 3.200 Hektare (Ha) di Desa Bandar Sibodas, Kabupaten Deli Serdang,” tukasnya.

Diakui, pembangunan Waduk Lau Simeme memang dirancang sebagai waduk serbaguna. Karena waduk ini juga mampu menghasilkan listrik mini hydro berkapasitas 2,8 Mega Watt (MW). (M35/m)
Sumber: hariansib.com

Pembangunan Waduk Serbaguna Lau Sememe Deli Serdang, Solusi Siklus Banjir 40 Tahunan Kota Medan

Medan (SIB)
Pembangunan waduk/dam Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, diyakini mampu menyelamatkan Kota Medan dan warganya dari siklus banjir 40 tahunan.
Bahkan, kehadiran waduk ini juga mampu memperpanjang ketersediaan air PAM (air baku) bagi jutaan warga ibukota Sumut ini bersama warga kota lain di sekitarnya, menyusul ancaman krisis air baku pada 2010 yang segera dialami Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumut RE Nainggolan didampingi Kabid Fisik dan Prasarana Lauren Gultom dan Kasubid Pengairan Tetty di Medan, Senin (10/12) menjelaskan, pembangunan Waduk Lau Simeme itu jelas memberikan keuntungan tidak hanya kepada Kota Medan, tetapi juga Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang.

Pembangunan waduk itu bukan hanya menyelamatkan Kota Medan dari siklus banjir 40 tahunan, dan menambah ketersediaan air baku PDAM Tirtanadi sebesar 3.700 liter per detik, tetapi juga memberikan jaminan pasokan air untuk jaringan irigasi sawah seluas 3.200 hektare (Ha) di Desa Bandar Sibodas, Kabupaten Deli Serdang,รข€ kata Nainggolan.

Diakui, pembangunan Waduk Lau Simeme memang dirancang sebagai waduk serbaguna. Karena waduk ini juga mampu menghasilkan listrik mini hydro berkapasitas 2,8 mega watt (MW).

Menurut Nainggolan, studi kelayakan (feasibility study/FS) waduk ini sudah diselesaikan sekitar Juni 2006. Saat ini, progres pembangunan waduk pada tahap pengerjaan Detail Rancangan (Detail Design). Hal ini dimaksudkan agar rancangan waduk bisa dimasukkan ke dalam Blue Book Bappenas pada 2008.
Bila proses detail rancangan dan Blue Book Bappenas ini rampung, maka pemerintah bisa segera melakukan negosiasi dengan pihak Jepang (Japan Banking International Corporation/JBIC), sehingga akhir 2009 atau awal 2010, konstruksi waduk bisa dimulai, beber Nainggolan.

Terkait estimasi (perkiraan) dana pembangunan waduk, menurut Nainggolan antara Rp900 miliar hingga Rp1 triliun. Seluruh dana konstruksi waduk ditanggung JBIC. Sedangkan pemerintah bersama Pemprov Sumut mengalokasikan dana untuk pembebasan lahan waduk seluas 200 Ha. Setelah rampung, waduk serbaguna Lau Simeme mampu menampung air (reservoir) hingga 33 juta meter kubik, dengan elevasi (ketinggian) air 253 meter di atas permukaan laut (DPL), dan tinggi waduk mencapai 73 meter dari dasar Lau Simeme. (M35/f)
Sumber: hariansib.com

Senin, 26 Juli 2010

Wakil M Manurung Sekretaris mewakili kecamatan Delitua di pengurusan PENGURUS PERSEKUTUAN KAUM BAPAK HKBP DISTRIK X MEDAN -ACEH

Ketua Kol ( Purn) M Harianja, Sekum Jannus M Hutabarat dan Bendahara Drs MJ Simanjuntak

Medan (SIB)
Pengurus Persekutuan Kaum Bapak HKBP Distrik X Medan-Aceh 2010-2012 terbentuk. Terbentuknya kepengurusan ini melalui hasil rapat pengurus seksi kategorial Kaum Bapak HKBP se-Distrik X Medan-Aceh yang berlangsung Kamis 3 Juni 2010.

Kepengurusan Persekutuan Kaum Bapak HKBP Distrik X Medan Aceh ini dilantik Praeses HKBP Distrik X Medan-Aceh Pdt Sabam MP Marpaung STh pada Minggu 11 Juli 2010 di Gereja HKBP Jln Sudirman .

Dalam kesempatan itu Praeses Pdt Sabam Marpaung mengatakan, pembentukan kepengurusan Kaum Bapak ini sesuai dengan program kerja Disrik X HKBP Medan-Aceh dan diharapkan dengan terbentuknya kumpulan ini merupakan salah satu tugas koinonia yaitu membangkitkan dan memelihara persekutuan di antara kelompok-kelompok kategorial.

Segala proram/kegiatan pengurus Persekutuan Kaum Bapak Distrik Medan Aceh ini dibawah kordinasi Kepala Bidang Koinonia.

Pengurus Kaum Bapak HKBP Distrik Medan-Aceh sbb: Penanggung Jawab: Praeses HKBP Distrik X Medan Aceh Pdt Sabam MP Marpaung STh, Pembina: Kepala Bidang Kononia Pdt Alintes Lumbantobing. Penasehat: Kepala Bidang Marturia Pdt E Bancin STh, Kepala Bidang Diakonia Pdt JG Silaban STh, Majelis Pekerja Sinode Distrik, Pendeta Resort.

Ketua Umum: Kol ( Purn) M Harianja (HKBP Jln Sudirman), Ketua I – II – III, St Drs Togar Manik Ak CPA (HKBP Medan Kota), BP Tamba (HKBP Sidorame), Drs B Silitonga (HKBP Simalingkar).
Sekretaris Umum: Drs MJ Simanjuntak (HKBP Pendidikan) , Sekretaris I – II – III, J Simanjuntak (Tanjung Sari) , St JR Tambunan SE (Cinta Damai), Drs SP Aritonang (Bethesda Jln Sei Asahan). Bendahara Umum : Drs MJ Simanjuntak ( Simpang Marindal), Wakil M Manurung (Delitua).

SEKSI-SEKSI
Seksi Kerohanian: St Drs John Heart Panggabean (Medan Kota), IP Sitompul SE (Menteng).Seksi Seminar: St Drs R Sibuea (Simpang limun), Ir Marlon Sibarani (Helvetia Jl Mawar). Seksi Sarana dan Prasarana:St O Napitupulu (Blok III Mandala), Drs H Pakpahan (Pendidikan). Seksi Humas Dokumentasi: St B Butar-Butar (Pabrik Tenun), S Sitohang ST (Ampera). Seksi Sosial/kemasyarakatan : MA Simorangkir ST (Medan Johar), Drs WA Napitupulu (Sidorame).

Seksi Perlombaan: St Drs L Manullang (Blok III), B Simamora (Sidorame). Seksi Dana: Sabam Manalu (Griya Martubung) , Drs Ramli Silitonga (Medan I Teladan), M Silitonga SE (Sudirman), Ir Marulam Angkat MBA (Medan Kota), St Drs Oloan Simanjuntak MM (Medan Kota), Ir H Sirait (Sidorame), Ir Jhon Anta Siagian (Menteng), St A Siahaan (HKBP TD Pardede) dan Drs G Sinaga MSc (Pagaran Nauli).

Koordinator Wilayah I: IG Simanjuntak (Galang), Koordinator Wilayah II: Hulman Purba (Agape Amplas), Ir Nelson Silitonga (Menteng), St Alboin Siagian SE (Medan Selatan). Koordinator Wilayah III: Arifin Siahaan (Wahidin Baru) , Drs G Sianturi (Sidorejo Medan Estate), Drs R Hutagalung (Sukaramai).

Koordinator Wilayah IV: St Hesekiel Simanjuntak (Pardamean), St HD Sihombing (Saroha) . Koordinator Wilayah V: Tohap J Sinambela (Medan Helvetia), Drs Robert Tambunan (Dame), Ir Tolopan Silitonga (Helvetia Jl Mawar), Koordinator Wilayah VI: St N Simangunsong (Pertekstilan TD Pardede), J Sormin (Hatopan ).

Koordinator Wilayah VII: St Drs M Siboro (Sudirman), St HS Tambunan SH (Pabrik Tenun), PM Tarihoran (Sri Ginting Medan Baru). Koordinator Wilayah VIII: St Tamba Tua Sitinjak (Delima ), J Tampubolon (Medan Johor), Drs H Situmorang (Tanjung Sari). (R12/u)
Sumber: hariansib

Minggu, 25 Juli 2010

Muspika Delitua dan Satpol PP Tertibkan Jalan Protokol

Delitua, (Analisa)
Muspika Delitua bersama-sama Satpol PP Kabupaten Deli Serdang, Jumat (23/7) pagi, melakukan tindakan penertiban, pembenahan secara arif khusus di jalan protokol. Soalnya, selama ini jalan tersebut semrawut dan menimbulkan kemacatan arus lalulintas.

Pantauan Analisa di lapangan, kinerja aparat pemerintahan berhasil dengan baik. Arus lalulintas di inti Kecamatan Delitua persis di depan pasar tradisional Delitua sudah lapang. Pembenahan beram jalan kiri-kanan harus dibebaskan dan beca bermotor dilarang parkir agar tidak terjadi kemacatan arus lalulintas lagi. Kepala Dishub Terminal Deitua MP Sagala mengaku, pihaknya telah memasang lampu pengatur arus lalulintas sebagai ujicoba. Ia juga mengharapkan para supir mobil penumpang umum (MPU) dan supir kendaraan lain dapat menjaga kelancaran lalulintas di Delitua.

Usai penertiban di inti kota Delitua, puluhan pedagang yang terkena gusur dalam penertiban itu, mendatangi H Sabar Ginting yang juga anggota DPRD Deli Serdang di kediamannya. Pedagang menuntut, agar Sabar Ginting bertanggungjawab atas tergusurnya mereka.

Setelah permasalahannya dijelaskan Camat Delitua Citra Capah, Kapolsekta Delitua AKP Bahtiar, Kepala Pasar Delitua Bangun termasuk H Sabar tentang maksud dan tujuan penertiban itu, akhirnya pedagang dapat memahaminya. Kepala Pasar Delitua menyatakan dapat mengatur tempat pedagang secara tertib, hingga tidak lagi berdampak terhadap arus lalulintas di Kota Delitua. Upaya penertiban jalan protokol Delitua itu, didukung 45 anggota Satpol PP dipimpin Kakan Satpol PP SP Tambunan SE, Trantib Delitua, Staf Kelurahan Delitua, Staf Pasar Delitua. (dr)


Sumber: www.analisadaily.com

Kamis, 22 Juli 2010

Buang Sampah Sembarangan, Berurusan Dengan Polisi

Delitua (SIB)
Membuang sampah sembarangan, 3 pria terpaksa berurusan dengan Polsekta Deli Tua.
Kepada petugas, ketiga pelaku tertangkap basah itu, S (36) warga Pasar 12 Tambung, RA (30) warga Jalan Besar Patumbak Gg Rasmi, Dusun II Patumbak Dalam, A (25) warga Desa Limau Mungkur Manis mengaku karyawan PT G dan mereka hanya membuang sampah sisa-sisa makanan karyawan sebanyak empat tong yang diangkut oleh mobil pick-up jenis Mitsubishi berwarna hitam.

Kapolsekta Delitua AKP Bahtiar Marpaung SH Ssos MHum ketika dikonfirmasi wartawan menyebutkan perbuatan PT G yang melakukan pembuangan sampah bukan merupakan tindak pidana. ” Kita tidak punya dasar hukum untuk menahan mereka, penangkapan pelaku dan barang bukti hanya sebuah peringatan atau menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya. Agar tidak lagi membuang sampah sembarangan ataupun bisa dikatakan sebagai efek jera bagi pelaku, jelas Kapolsek. (BSK/x)
Sumber: hariansib.com

Sabtu, 10 Juli 2010

PUTRI HIJAU: RAJA PEREMPUAN ARU DELITUA

Pengantar
Putri Hijau (Green Princess) adalah ’kisah’ kepahlawanan (folkhero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada dua kelompok suku yakni Melayu Deli dan Karo. Sebagai folktale, kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Haris M. Nasution, 1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990).

Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980 dan Sinar, 1991, Meuraxa, 1973). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan nalar manusia-yang terdapat pada kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Kisah Putri Hijau yang berkembang luas dalam masyarakat Melayu Deli serta Karo, lebih dikenal sebagai sebuah fiksi daripada sebuah fakta sejarah. Namun, berdasarkan studi literatur, studi dokumen dan bukti-bukti sejarah terbaru tiba pada kesimpulan bahwa kisah Putri Hijau merupakan fakta sejarah atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Hanya saja, dominasi unsur imajinatif dalam kisah tersebut menyebabkannya semata-mata bukan fakta sejarah.

Catatan-catatan penting Tentang ARU
Menurut beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti sama sekali. Namun, Edmund E. McKinnon (Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).

Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.

Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.

Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.

Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada awal abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.

Benteng Putri Hijau Deli Tua
Edmund Edwards McKinnon (2008) menulis ”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Selanjutnya, “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.

Seperti yang dicatat dalam literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU tetapi juga Portugis dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum kerajaan ARU yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU yang didukung oleh Portugis dan Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau, ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ’Putri Hijau’ itu sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di India Selatan.

Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ (Lau Patani) yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.

Temuan lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.

Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada temuan sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga puntung dan terbagi dua.

Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Sultan Aceh.

Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua.

Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikahinya apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan diangkat sebagai wali negeri Aceh di reruntuhan kerajaan ARU. Selanjutnya, ARU Deli Tua pada masa pimpinan wali negeri Aceh ini menjadi cikal bakal kesultanan Deli yang berkuasa pada tahun 1632-1653.

Benteng Putri Hijau yang terdapat di Deli Tua-Namu Rambe berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 1800 x 200 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Benteng ini termasuk dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Lokasi yang tepat berada diantara dua lembah serta dialiri oleh sungai, menjadi alasan bahwa daerah tersebut sengaja dipilih untuk mengantisipasi serbuan musuh (Military Strategic Sistem), lagi pula pusat kerajaan selalu berada di tepi sungai mengingat pentingnya sungai sebagai jalur transportasi.

Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1568, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan.

Kesimpulan
Kisah Putri Hijau adalah peristiwa yang bersifat historis-faktual yang bercampur dengan imajinasi, terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar di Aceh dan ARU dipimpin oleh raja perempuan yakni permaisuri Sultan Husin yang gugur akibat serangan Aceh. Centrum kerajaan ARU berada di Deli Tua yang dikelilingi oleh Benteng yang tangguh setinggi 30 kaki dan memiliki sebuah meriam yang dibeli dari pelarian Portugis. Dapat dilayari melalui sungai Panecitan/Lau Patani yang bermuara ke selat Melaka. Pada akhirnya, ARU takluk sebagai dampak praktek sogok (uang emas; Dirham) yang dilakukan oleh pasukan Aceh terhadap pengawal pintu benteng kerajaan ARU. Akibatnya, ARU dapat dikuasai oleh laskar Aceh dan seisi istana musnah dibakar.

Kisah Putri Hijau menggambarkan kekalahan pasukan ARU Deli Tua dari serangan pasukan Aceh dan kekalahan ini tentu saja sangat sukar untuk dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai kontrawacana kekalahan tersebut, dibentuklah wacana baru dengan mengadopsi peristiwa sebenarnya dengan mencampurnya dengan unsur-unsur imajinasi. Praktek sogok diceritakan kembali dengan tembakan meriam Aceh berpeluru emas, sementara satu-satunya meriam ARU yang ditembakkan secara terus-menerus menjadi panas dan pada akhirnya puntung dan terbagi dua. Selanjutnya, faktor penyebab serangan Aceh ke ARU bukan semata-mata disebabkan oleh rencana unifikasi dan ekspansi kekuasaan tetapi cenderung karena perempuan, yakni kecantikan Sri Ratu ARU yakni permaisuri Sultan Husin yang mati terbunuh sehingga Raja Aceh berniat mempersuntinngya. Pada akhirnya, pasukan Aceh memang menang dalam perang, tetapi mengalami kekalahan karena gagal mempersunting Putri Hijau. Oleh karena itu, kisah Putri Hijau yang hingga kini populer dikalangan masyarakat merupakan kontruksi atas peristiwa sebenarnya dan sengaja dibentuk untuk melawan wacana kekalahan ARU Deli Tua. Makna yang dikedepankan dalam wacana ini adalah bahwa Aceh tetap kalah yakni kegagalan mempersunting permaisuri ARU Deli Tua. Disamping catatan-catatan resmi perjalanan, bukti-bukti otentik sejarah kerajaan ARU Deli Tua adalah benteng yang masih eksis hingga saat ini, temuan mata uang emas Dirham, pecahan keramik dan tembikar yang dengan mudah dapat ditemukan. Oleh karena itu, Putri Hijau bukan mitos tetapi fakta sejarah yang benar-benar terjadi.

Oleh:
Erond L. Damanik, M.Si.
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan

Deli Tua, Situs Sejarah yang Terlupakan

SELAIN wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah. Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.
Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.

Salah satu Keturunan Gocah Pahlawan adalah Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Sabtu, 6 April 2002.

MENJELAJAHI situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.
Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.

Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.

Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.
Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.

KINI kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.

Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.

“Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini,” kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku “Adat Karo”.

Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.

Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.

MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.

Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhan ibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).

Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.

Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.

“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.

Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.

Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.
Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.

Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

“Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan,” ujar Darwan.
Sumber:   www.sumberkarya.kampungdigital.com

Rabu, 07 Juli 2010

Benteng Putri Hijau: Situs Kerajaan Aru Deli Tua Sumatra Timur

Pengantar
Sejarah peradaban di ujung pulau Andalas dimulai sejak ditemukannya prasasti Lobu Tua Barus (Tapanuli Tengah) yang berangka tahun 1088 M yang menyebut adanya sekitar 1500 orang yang bermukim dikawasan tersebut (Guillot, 2002). Pada umumnya, masyarakatnya adalah pedagang terutama Kapur Barus dan Kemenyan yang banyak ditemukan di pulau Sumatra. Oleh karenanya, dapat dinyatakan bahwa Barus menjadi Bandar perniagaan mancanegara pertama di Sumatra Utara dengan komoditas niaga utamanya yakni Kapur Barus (Champher) dan kemenyan. Diyakini bahwa situs ini berdiri sejak abad ke-6 hingga 11 M dan pasca penetrasi saudagar islam kemudian masyarakatnya terdesak kepedalaman dan membentuk komunitas tersendiri dengan budaya tersendiri pula. Era dimana masuknya Islam di Barus melalui jalur perdagangan ini sekaligus menandai masuk dan berkembangnya agama Islam di ujung pulau Andalas ini.
Situs Lobu Tua Barus adalah situs sejarah tertua (oldest sites) yang telah ditemukan di Sumatra Utara hingga saat ini, kemudian pada periode berikutnya dikenal situs Portibi Padang Lawas Tapanuli Selatan pada abad ke-11. Bukti nyata peninggalan situs Portibi adalah Candi Bahal yang terpengaruh Hindu dan masih eksis hingga kini. Disamping itu, terdapat tiga situs kuno (ancient sites) lainnya yang terletak dikawasan Timur Sumatra Utara yakni Kota Cina (Abad ke 10-13), Kota Rentang (abad 13-14) dan Deli Tua (abad 14-15). Satu situs yang disebut pertama plus Barus dan Portibi telah dicatat oleh Eric M. Oey (1991) dalam bukunya ”Sumatra” dan disebut sebagai kerajaan kuna (ancient kingdom) di Sumatra Utara. Kecuali Kota Cina, dua situs lainnya di kawasan Sumatra Timur yakni Kota Rentang (telah diekskavasi) dan Deli Tua (belum diekskavasi) belum banyak ditulis dan diteliti.

Kerajaan (H)Aru
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah Pararaton maupun Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni (H)Aru. Namun, hingga saat ini belum ada suatu kesimpulan utuh yang menyatakan asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.
Dalam banyak literatur, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti. Namun, McKinnon menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat kerajaan Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1492-1537. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Prof. Wolters bahwa data-data yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15 bukan nyata dari penelitian namun sebatas pengamatan pintas. Oleh sebab itu, pembuktian terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah (ekskavasi) yakni untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban (H)ARU di lokasi dimaksud.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis banyak ditemukan batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dan nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).
Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan pengembara asing, kerajaan ini sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh” maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, menurut M.O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao (1964) berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu banyak disebut didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar Aceh.
Tentang hal ini, McKinnon (2008) menulis:”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh. McKinnon (2008) menulis “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.

Kisah Putri Hijau
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.
Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga terbagi dua.
Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Raja Aceh.
Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua. Benteng dapat direbut dan rajanya dapat ditewaskan.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikah dengan raja Johor apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan sebagai wali negeri Aceh di ARU yakni kesultanan DELI.

Putri Hijau (Green Princess) adalah salah satu ’cerita’ kepahlawanan (folk hero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada tiga kelompok suku yakni Melayu, Karo dan Aceh. Sebagai cerita rakyat (folktale) kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Hans M. Nasution, 1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990).
Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980 dan Sinar, 1991). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan nalar manusia-yang terdapat dapat kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.

Akan tetapi, penelitian dan ekskavasi arkeologi belum pernah dilakukan sehingga menyulitkan rekontruksi masa lalu ARU Deli Tua.

Kearah Penelitian Arkeologi
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.
Situs Kota Rentang seluas 500-1000 Ha ini diteliti dan dilakukan penggalian oleh McKinnon pada bulan Maret 2008. Temuan penting dan berharga dari penelitian dan penggalian tersebut adalah ditemukannya stonewares dan earthenwares terutama dari dinasti Yuan dan Ming, mata uang maupun batu kubur (nisan) yang tersebar luas di situs sejarah (historical sites) tersebut. Temuan berupa batu kubur yang percis sama dengan di Aceh, sekaligus menguatkan dugaan bahwa kawasan ini pernah dikuasai oleh Islam terutama yang datang dari Aceh. Namun demikian, sebelum di kuasai oleh Aceh, kawasan ini lebih dahulu dipengaruhi oleh Hindu maupun Budha karena adanya temuan batu dan kayu besar yang diduga bekas bangunan candi.
Daerah ini dijelajahi oleh E. E. McKinnon, (Arkeolog Inggris) pada tahun 1972, sebelum memutuskan menggali di Kota Cina. Beliau menulis: ”beberapa nisan batu Aceh yang besar dan signifikan yang ada di Kota Rentang pada tahun 1972 sekarang sudah menghilang, tetapi dari jenis-jenisnya yang dilihat dahulu, maka mendukung anggapan lokasi di Kota Rentang sebagai pemukiman orang-orang bangsawan. Sama juga dengan mutu keramik dari awal abad ke-13 yang telah ditemui dilokasi-lokasi yang sama, yaitu dari misi pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zhenghe) dan kunjungannya ke ARU pada tahun 1411-1431”.
Pendudukan Aceh di Kota Rentang, telah mengubah populasinya dengan warna Islam. Batu nisan di impor dari Aceh dan menjadi pertanda bagi orang meninggal dunia dan umumnya mereka itu adalah kaum bangsawan Kota Rentang. Dan yang terpenting adalah dibentuk dan didirikannya sebuah kerajaan dengan corak Islam yang dikemudian hari dikenal dengan ARU (abad ke-13). Hal ini senada dengan bukti-bukti yang ada berupa tulisan dan laporan yang menyebutkan bahwa nama kerajaan (H)Aru telah disebut pada abad ke -13.
Situs Benteng Putri Hijau (Ijo) terdapat di Deli Tua-Namu Rambe dan berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 150 x 60 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Situs ini termasuk dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Menurut McKinnon, jenis benteng seperti ini banyak terdapat di Scotlandia maupun Inggris sebelum abad pertengahan.
Temuan lain adalah banyaknya keramik ataupun tembikar yang menunjuk tarik yang hampir sama dengan temuan di Kota Rentang, juga temuan mata uang (koin) Dirham, mata uang emas dari Aceh yang banyak ditemukan oleh masyarakat sekaligus menjadi bukti sejarah bahwa pasukan Aceh pernah menaklukkan kawasan ini dengan menembakkan meriam ber-peluru emas sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat Putri Hijau (green princess). Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1571, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda ini, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan. Diyakini bahwa lokasi ini merupakan pusat kerajaan Aru Deli Tua dimana kisah Puteri Hijau sangat popular dan banyak diketahui oleh masyarakat.

Bandar Niaga
Kota Cina dan Kota Rentang dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.
Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat perdagangan seperti Kota Cina dan Kota Rentang melalui sungai Deli, sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula, temuan bongkahan perahu yang ditemukan di kedua lokasi (Kota Rentang dan Kota Cina) menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan kedua daerah ini seakan menjauh dari laut.
Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun, kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs ini. Ironisnya, ketiga situs ini tak satupun yang terawat dan bahkan semuanya hampir musnah. Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh masyarakat dengan menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian, sama halnya dengan Kota Rentang. Sedangkan Benteng Putri Hijau terancam musnah sebagai dampak pembangunan perumahan yang percis menempel ke badan Benteng. Bahkan, sebagian badan benteng telah dirusak untuk memberi jalan ke perumahan yang tengah dibangun.

Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan (PUSSIS-UNIMED)

Situs Bersejarah Peninggalan Kerajaan Aru di Delitua Terancam Punah

Medan- Benteng bersejarah peninggalan Kerajaan Aru di Kecamatan Deli Tua Deliserdang yang memungkinkan masuk situs dunia membutuhkan perhatian pemerintah. Hal itu disampaikan Arkeolog berkebangsaan Inggris, Dr E Edward Mc Kinnon kepada Sekdaprovsu, Dr RE Nainggolan MM saat meninjau Pesta Budaya Melayu Indonesia Sumut, Senin (4/8) di Gedung Museum Negeri Sumut.

Tempat itu pernah menorehkan masa keemasan karena pedagang dari berbagai negeri singgah dengan membawa kemenyan, emas, gading, beberapa hasil hutan.

Sebagai daerah yang cukup strategis dengan pelabuhannya para pedagang dari Tiongkok hingga ke Timur Tengah berdatangan. Bahkan di kawasan pelabuhan ada sebuah Kota yang dikenal dengan Kota China cukup berkembang pada abad ke-11 hingga 14. Sebuah sejarah Sumut yang sangat penting, dengan Hikayat Putri Hijau yang dikenal masyarakat Melayu dan Karo patut dilindungi.

Edward Mc Kinnon yang sudah melakukan penelitian sejak tahun 1973 di kawasan Deli Tua berharap lokasi itu dapat diamankan karena saat ini sudah dimasuki oleh developer yang hendak membangun perumahan.

Hal yang cukup menjanjikan dari kawasan itu adalah sangat prospek untuk dikembangkan menjadi objek pariwisata tingkat dunia dan apabila memenuhi syarat dapat diajukan menjadi salah satu situs dunia yang dilindungi kepada UNESCO.

Walaupun cukup banyak syarat yang harus dipenuhi namun salah satu syarat utama adalah lokasi seluas 1800 meter itu harus utuh dan tidak ada gangguan dari bangunan.

Menurutnya, lokasi itu sangat elok dan bila dilihat dari atas dan akan terlihat keindahan yang menunjukkan bahwa tempat itu dibangun pada abad 11 dengan memiliki pertahanan yang sangat kuat dan diperkirakan ada jenius militer yang membuatnya. Tempat yang memiliki nilai sejarah itu kalau hancur maka sejarah akan hilang terutama sejarah dan Sumut turut hilang.

Sekda Provinsi Sumut, Dr RE Nainggolan MM mengatakan sangat respek untuk melindungi situs bersejarah itu dan meminta pihak-pihak terkait untuk mengambil peranan.
Sumber : www.hariansib.com (10 Agustus 2008)

Luas Desa/ Kelurahan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per KM2 di Kecamatan Delitua Tahun 2007

Letak dan Geografis Kecamatan Deli Tua

1. Luas Daerah:
- Kecamatan Deli Tua terletak: 2,57 dan 3,16' LU
- Luas Kecamatan : 9,36 Km2
- Ketinggian dari permukaan laut: 25 Meter
- Jumlah Desa : 3 Desa
- Jumlah Kelurahan : 3 Kelurahan
- Jumlah Dusun : 45 Dusun
- Ibukota Kecamatan : Deli Tua
2. Batas-Batas:
Sebelah Utara: Kecamatan Medan Johor Kodya Medan
Sebelah Timur: Kecamatan Patumbak
Sebelah Barat: Kecamatan Namo Rambe
Sebelah Selatan: Kecamatan Biru Biru
3. Jarak Kantor Kecamatan dengan Ibukota Kabupaten: 42 Km
4. Jarak Kantor Kecamatan dengan Ibukota Propinsi: 12 Km
5. Sungai- sungai yang melintasi: Sungai Deli dan Sungai Batuan
6. Iklim: Tropis
Kecamatan Deli Tua Dalam Angka 2008

Sejarah Singkat Kecamatan Deli Tua

Daerah Kecamatan Deli Tua dikenal sejak abad ke 16 M dan merupakan sebuah kerajaan dari protektorat Kerajaan Aceh yang dikepalai oleh seorang Sultan yang bernama Ma'mun Al Rasyid I.

Sejak abad 19 daerah ini termasuk ke dalam Kesultanan Deli dan dijadikan daerah perkebunan Tembakau yang dikenal dengan perkebunan Tembakau Deli atau Deli Mascal.

Pada masa penjajahan Belanda, daerah Deli Tua termasuk dalam Wilayah Kewedanan Deli Hulu. Sejak negara Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka daerah ini dibentuk menjadi satu kecamatan yaitu kecamatan Deli Tua dengan jumlah desa sebanyak 8 (delapan) desa dengan pusat pemerintahan berada di desa Suka Maju (sekarang Kampung Baru) di jalan STM Medan.

Pada tahun 1974 daerah ini terkena pemekaran Kotamadya Medan, sehingga Kecamatan Deli Tua mempunyai 2 (dua) desa/ kelurahan dengan pusat pemerintahan di Kelurahan Deli Tua dan Camat yang pertama adalah Bapak Amir Hamzah.

Berdasarkan SK Gubernur Nomor 140/2770/K/93 tanggal 24 Nopember 1993, Daerah Kecamatan Deli Tua dimekarkan menjadi 3 (tiga) desa dan 3 (tiga) kelurahan dan pusat pemerintahan terletak di Kelurahan Deli Tua Timur dan Camat sekarang adalah Bapak Drs. Citra Effendi Capah.


Kecamatan Deli Tua luas wilayahnya 9,36 Km2 yang terdiri dari 3 Desa dan 3 Kelurahan serta 45 Dusun, 134 RT, 68 RW adalah Kecamatan yang sangat strategis pada sektor Pertanian dan Perekonomian.

Camat Delitua

Edi Yusuf SIp MSi
CAMAT DELI TUA

Kantor Camat Delitua