Kamis, 09 Juni 2011

Kanal Tak Berfungsi = Proyek Gagal?


Oleh : Irfan Alma
Dalam beberapa hari belakangan ini hujan deras terus mengguyur Kota Medan. Siang dan malam tiada henti. Dengan intensitas yang cukup tinggi dan volume yang cukup besar pula. Ditambah lagi dengan kencangnya tiupan angin yang menyertainya.
Tak ayal Kota Medan dalam sekejap tergenang banjir. Kawasan padat khususnya yang berada di dataran rendah kali ini nyaris seluruhnya terendam air. Rumah-rumah penduduk, gedung sekolah, rumah ibadah dan semua benda dalam sekejap tergerus oleh air yang berwarna kecoklatan yang datang dari hulu itu.
Empat buah sungai besar yang membelah kota Medan diberitakan meluap. Sungai Denai, Sungai Babura, Sungai Deli dan Sungai Belawan. Air sungai-sungai tersebut meluap dan naik hingga bahkan melewati batas jembatan di atasnya. Kala kejadian penduduk banyak yang tak sempat menyelamatkan barang-barangnya, terutama peralatan elektronik. Pukul tiga dini hari air memaksa mereka untuk bergegas menuju tempat yang aman. Selain berwarna keruh kecoklatan, arusnya juga sangat deras. Arus itu menerjang apa saja yang dilaluinya.
Harus diakui, banjir yang melanda Kota Medan belakangan ini sudah sangat besar melebihi banjir-banjir sebelumnya yang biasanya hanya bersifat langganan. Pada saat kejadian banjir (Kamis, 31/3), terkumpul data dari tiga tim yang dibentuk Walikota Medan, menyebutkan bahwa banjir besar kali ini merendam sedikitnya ribuan rumah yang berada di sebelas kecamatan di Kota Medan. Kecamatan Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Polonia, Medan Baru, Medan Petisah, Medan Johor, Medan Barat, Medan Helvetia, Medan Maimun, Medan Labuhan dan Medan Belawan.
Bahkan sejumlah kawasan elit yang selama ini jarang tersentuh banjir, pun tidak luput dari amukan air bah. Air yang menggenangi kawasan Jalan Sudirman membuat rumah dinas walikota, rumah dinas gubernur Sumut dan rumah dinas Kapoldasu turut terendam.
Kawasan yang paling parah dilanda banjir kali ini adalah kawasan Medan Tuntungan dan Medan Sunggal. Banjir memaksa puluhan ribu penduduk Kota Medan mengungsi. Evakuasi dan tanggap pertolongan juga dilakukan oleh aparat pemerintahan. Polri, TNI, BASARNAS dan sejumlah relawan. Hal yang menjadi prioritas tentu saja anak-anak, manula dan perempuan.
Kanal Tak Berfungsi = Proyek Gagal?
Bila timbul sebuah pertanyaan, apa sebenarnya penyebab utama terjadinya banjir di Kota Medan? Tentu saja beragam argumen dari berbagai kalangan akan mengemuka. Dulu, pada saat Kota Medan dipimpin oleh walikota Abdillah telah dibangun sebuah kanal di pinggir kota yang konon anggarannya sampai menghabiskan dana sebanyak 600 Miliar lebih. Kalau anda menyempatkan waktu untuk berjalan-jalan ke Titi Kuning yang mengarah ke kawasan Delitua, disana terlihat betapa megahnya kanal yang dibangun itu. kedalamannya begitu curam sedangkan diatas permukaannya dibangun lagi semacam beton-beton penyang ga berukuran besar, mungkin untuk mengikis terjangan air yang datang dari arah gunung. Namun itulah, lain pemimpin lain pula argumen dan solusinya terhadap banjir.
Kanal itu kini terlihat sia-sia, terkesan mubazir karena tak berdampak apa-apa lagi bagi penanggulangan banjir. Ditumbuhi semak belukar disana-sini dan nampak tak terurus. Anggaran terbilang setengah triliun lebih itu terbuang percuma. Seandainya saja dana yang sekian itu diarahkan bagi pembangunan rumah-rumah bersubsidi bagi ribuan KK rakyat miskin, atau mungkin membeli bahan sembako bagi sekian puluh ribu rakyat susah, atau mungkin bisa saja untuk membiayai pembangunan ratusan sekolah gratis seratus persen bagi jutaan anak-anak jalanan dan korban sosial lainnya.
Meskipun pasca pembangunannya kala itu banyak pihak, khususnya LSM yang saling tuding bahwa proyek pembangunan kanal megah tersebut adalah tak lebih merupakan modus operandi korupsi cara baru ala penguasa daerah, namun anehnya teriakan itu kembali redup dan sirna di kemudian hari. Seolah terkesan secuil apriori kalangan tertentu itu bisa berubah dengan sendirinya. Ibarat cuaca yang telah tercemar Global Warming ini. Tentu semakin menjadi sebuah tontonan dengan kompleksitas kebingungannya bagi kita, ada apa dengan kondisi para LSM itu, ada apa dengan kondisi Kota Medan tercinta ini, dan ada apa dengan para pemimpin di kota ini. Pepatah lama mengatakan ada asap tentu sebab ada api.
Perang Argumen
Berbagai pendapat bermunculan mengenai penyebab banjir yang seolah tak pernah berhenti melanda Kota ini. Beberapa pakar, pengamat, politisi dan masyarakat memberikan wacananya sesuai dengan cara pandangnya masing-masing. Sudah tentu pula jawaban bervariasi yang akan bermunculan.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubenur Sumatera Utara, Gatot Pujonogroho mengatakan, satu faktor penyebab banjir di Kota Medan adalah karena sungai yang melintasi Kota Medan sudah tidak mampu menampung debit air jika terjadi hujan deras dalam waktu lama.
Hal itu sangat beralasan, sebab sejak dulu hingga kini jumlah sungai di kota ini selalu tetap. Namun sayang, tamaknya sebagian manusia yang dengan sesuka hatinya mengubah alur, arus, kedalaman dan panjangnya sungai-sungai itu. Keserakahan para developer mampu memotong dan memindahkan sungai-sungai itu untuk kepentingan bisnis propertinya. Sungai yang dulunya berukuran besar ditimbun, terus dibelokkan sedemikian rupa ketempat lain. Kemudian diatasnya dibangun ruko-ruko berharga setengah miliar rupiah per unit. Tentu saja aksi sulap itu memainkan sedikit lobi. Kembali restu para petinggi diusahakan.
Setali tiga uang dengan pernyataan Plt. Gubsu, Walikota Medan Rahudman Harahap juga berpendapat sama. Banjir yang terjadi belakangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh mampetnya saluran air dan drainase yang ada. Sebab miliaran rupiah dana APBD telah dikucurkan untuk itu. Namun polemik baru kemudian timbul, pabrik dan pembangunan perumahan yang berada di sekitar sungai diduga turut sebagai pemicu banjir besar yang terjadi di Medan, Selain itu, banjir besar tahun ini juga di sebabkan akibat pengalihan dan penyempitan sungai dalam pembangunan perumahan yang berada di sekitar sungai oleh pihak pengembang dan pabrik.
Malah walikota berpendapat agar sebaiknya perumahan-perumahan penduduk yang tumbuh di sepanjang pinggiran aliran sungai itu selama ini direlokasi, sudi menerima konsep pembangunan Rusunwa sebagai alternatif jalan keluar terakhir. Alasannya cukup jelas dan bijak, untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan penduduk tersebut. Selama ini kecemasan yang tiada henti mereka rasakan kala memasuki musim penghujan dan merebaknya berbagai wabah penyakit.
Masih ingat bangunan berlantai empat milik Akademi Kebidanan (Akbid) Senior yang rubuh dan rata dengan tanah pada 4 April yang lalu? Bangunan itu berdiri di areal hijau, daerah larangan bangun sebab berada di pinggir sungai. Sebenarnya belum tentu bangunan itu dibangun dengan konstruksi rapuh dan labil. Apalagi korupsi pengadaan materil. Yayasan tersebut mem bangun gedung asrama kalau bisa tentu dengan bestek yang paling kokoh dan tahan hingga puluhan tahun. Namun itu tadi, tekanan demi tekanan air yang datang dari hulu terus berusaha mencari alur alamiahnya. Akhirnya pondasi kokoh bangunan itupun ambrol.
Solusi Nyata
Diperlukan sebuah konsep jelas dan terarah untuk mengatasi banjir di kota ini. Sebagai pelaksananya tentu saja peran seluruh stake holder secara berkesinambungan sangat diharapkan. Aparat pemerintah dan setiap elemen masyarakat harus mulai bahu membahu bekerja sama. Bukan lagi sekedar selembar poster atau spanduk berisi himbauan yang ditempelkan, namun lebih dari itu sebuah peran nyata sebagai sumbangsih ikut serta mengantisipasi, mencegah dan menanggapinya. Ironi memang namun tak bisa dipungkiri. Masalah banjir merupakan masalah pokok yang pasti ada di setiap kota besar di negeri ini. Termasuk DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Mungkin andaikata seluruh penduduk di kota ini mau dan turut merasa memiliki kota Medan ini. Sudah pasti semua akan merawat dan menjaganya. Termasuk menjaga agar tidak lagi dilanda banjir. Semoga. ***
Penulis adalah peminat masalah lingkungan dan sosial
Sumber: analisadaily

Tidak ada komentar: