Oleh : Hidayat Banjar
Kehidupan egaliter di samping dapat dilihat dan dirasakan di warung-warung kopi, juga dapat dilihat dan dirasakan di taman kota. Di taman, tak ada kelas, tak ada warna kulit, suku, semua sama punya hak menikmati panorama alam yang ada. Seperti udara yang memberi ogsigen kepada siapa saja, begitu juga taman, memberi kesegaran dan keindahan kepada siapa saja yang hadir di taman kota.
Melepas merpati.
Gerakan Komunitas Taman yang bercita-cita menghidupkan taman kota sejak belasan tahun lampau pantas jadi perhatian kita. Idris Pasaribu pun pada Ruang Rebana, Rubrik Lirik (Analisa, Minggu, 5 Juni 2011, halaman 11) menulis tentang Komunitas Taman ini. Dengan judul Merpati di Taman. Idris menggambarkan tentang upaya sekelompok orang yang menamakan diri Komunitas Taman, tanpa hingar-bingar, tanpa publikasi dan acara serimonial yang wah, melakukan upaya "menghidupkan" taman kota.
Budaya Uraban
Budaya urban -tepatnya buih dari kebudayaan kota (karena begitu cepat berubah sesuai selera pasar)- yang massif, gemerlap dan wah perlu penyeimbang. Komunitas-komunitas seperti Komunitas Taman dan lainnya adalah gerakan yang tak memerlukan "kekuatan gerombolan", populeritas dan pengakuan.
"Siapa saja boleh mengambil tempat dan posisi dalam Komunitas Taman," tutur Selwa Kumar suatu kali pada penulis. Justru itu, komunitas-komunitas seperti ini jadi semacam rem dari naluri agresivitas manusia kota yang bertarung memenuhi kebutuhan hidup.
Pada 1 Juni 2011 itu, saya hadir di Taman Beringin Jalan Sudirman Medan bersama Komunitas Taman dan Komunitas Bumi. Ada Miduk Hutabarat, Irwansyah Hasibuan, Andi, Zulkarnain Siregar, Robert Valentino Tarigan, Jaya Arjuna dan nama-nama yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Selwa Kumar tidak hadir di sini. Mungkin ada kesibukan lain.
Dari orasi, bernyanyi, juga baca puisi, bahkan sekadar cuap-cuap dilakukan di senja yang cerah tersebut. Masing-masing individu berharap – dengan gerakan menanam pohon (yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya) dan melepas merpati (yang dilakukan pada 1 Juni 2011 itu) – taman kota sebagai ruang publik jadi tempat istirah sejenak dari kesumpekan hidup.
Suasana Lain
Ada orang-orang yang berlari sore, ada yang sekadar duduk-duduk, ada yang bercengkrama dengan keluarga. Kehadiran Komunitas Taman dan Komunitas Bumi serta orang-orang yang perduli lingkungan, memberi suasana lain sore itu. Tak sedikit dari pengunjung taman memperhatikan dengan seksama -dari jarak dekat maupun agak jauh- kegiatan komunitas.
"Perubahan lingkungan, membuat perubahan ekosistem. Perubahan ekosistem membuat perubahan perilaku bangsa manusia," demikian Robert Valentino dalam orasinya.
Robert Valentino Tarigan berorasi
Hanya berkisar 35-40 tahun saja terjadi perubahan drastis. Ketika itu – sekitar 35-40 tahun lalu – orang-orang yang bermukim di sekitar 500 meter kurang lebih dari bibir sungai pastilah berakrab-ria dengan sungai. Suasana pemukiman sangat kental dengan aroma desa.
Zaman bergerak kawan. Desa-desa -yang tiga atau empat puluh tahun lalu- tempat kita dilahirkan, dalam keniscayaan sejarah, berubah jadi kota-kota yang padat. Alam yang dulu masih ‘berbaik hati’ memberi bangsa manusia dengan gizi, kini pergi, dilindas keserakahan kota.
Masih dengan jelas terpatri di ingatan -dulu- di samping atau belakang rumah kita bertaburan makanan pemberi gizi seperti jamur yang tumbuh di batang-batang pohon tumbang, kemumu, keladi dan umbi-umbian lainnya. Pisang-pisang dan buah-buahan pun berserak begitu rupa.
"Tongkat kayu dan batu jadi tanaman", sebagaimana dilantunkan Koes Plus dalam lagunya, kini tenggelam dalam rawa-rawa sejarah. Ketika itu, kita tinggal menggerakkan kaki dan tangan untuk mengutip gizi-gizi tersebut.
Rawa-rawa di samping atau belakang rumah juga memberi gizi seperti ikan-ikan berbagai jenis. Sungai-sungai apalagi. Seperti di Sungai Deli, Babura, Denai, Belumai dan Batang Serangan dulu: ada udang-udang kecil, sipu, remis, dan ikan kepalatimah, cencen, lemeduk, baung, sepat, sampai ikan-ikan besar lainnya tersaji buat kita.
Ikan Sapu Kaca
Remis dan siput, berserak di pasir-pasir sungai, tinggal menjulurkan tangan dan membawa wadah, maka semuanya dapat menjadi tambahan gizi. Kini, sungai-sungai kita di kota (dulu kebanggaan warga), yang ada tinggal ikan sapu kaca dengan daging yang nyaris tak ada dan tulang dan begitu keras. Aduh!
Sungai Deli, Sungai Babura dan tiga sungai lainnya: Sungai Batang Serangan, Denai dan Belumai yang melintasi Kota Medan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kini kondisinya tentu sangat jauh beda. Dahulu kapal ukuran besar dapat leluasa berlayar di sungai-sungai tersebut karena tidak ada jembatan yang menghalanginya. Masa sekarang alurnya bertambah kecil, banyak jembatan di atasnya dan tempat-tempat yang telah menjadi dangkal. Ironisnya, air sungai-sungai yang dulunya jernih, kini relatif keruh dan mirip air comberan. Jika musim hujan, sungai-sungai jadi menakutkan karena kelihatan ganas.
Alam yang berubah membawa perubahan perilaku manusianya. Masyarakat yang bersahaja, tenggang rasa, hidup bersama, berubah menjadi agresif dan individualistik karena tuntutan kebutuhan hidup. Tak ada lagi yang gratis di kota ini kecuali – maaf – kentut.
"Saat itu (maksudnya saat alam masih begitu bersahabat dengan masyarakat), kalau kita miskin, alam masih memberi kehidupan. Sekarang, kalau tidak punya uang, alam tak lagi memberi kita makanan gratis. Semua harus bayar," tandas Valentino.
Pemandian putri hijau |
Sungai Deli yang hulunya di Delitua mengalir hingga ke Belawan, dulu merupakan tempat sebagian besar orang-orang miskin kota mencari penghidupan. Di Kelurahan Namu Rambe ada situs Putri Hijau dengan bekas benteng pertahanannya, bekas istana dan pancur tempat Putri Hijau mandi, kini merupakan pancuran yang airnya terus mengalir. Situs bersejarah itu belum dimanfaatkan sebagai paket wisata, sehingga tak perlu merusak alam hanya untuk mengejar keuntungan materi.
Kecewa
Masyarakat peduli kelestarian lingkungan dan orang-orang yang punya hubungan emosional serta historis dengan sungai penuh sejarah ini, pastilah kecewa melihat pembangunan yang tak bersahabat dengan alam, sehingga merusak keberadaan Sungai Deli. Bahkan, dalam dua dasawarsa ini -jika di hulu musim penghujan- penduduk yang ada di pinggiran sungai bagian hilir, merasa Sungai Deli dan sungai-sungai lainnya jadi ancaman menakutkan.
Akankah kehadiran Komunitas Taman, Komunitas Bumi dan pencinta lingkungan lainnya mengembalikan kondisi alam seperti 30-45 tahun lampau? Jawabnya: Tidak!! Kehadiran komunitas-komunitas yang tak bergantung dengan pemerintah, sedikitnya dapat menjadi rem bagi peradaban kota yang agreif. Dalam pada itu, komuniras-komunitas seperti ini dapat memberi makna: kita butuh taman di mana peradaban egaliter mengalir dalam sungai kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar