Selasa, 19 Oktober 2010

SMA dari Delitua di depan FKSS IKIP Negeri Medan hadiri kegiatan di halaman kampus

PARA sastrawan Sumatera Utara sudah tidak masuk lagi ke sekolah-sekolah. Juga jarang adakan acara di kampus-kampus. Kalaupun ada hanya kampus tertentu saja. Acara sastrawan masuk sekolah, sudah lebih 25 tahun tidak bangkit lagi di Medan.

Tahun 1979, sebuah organisasi penulis yang dimotori oleh Yudhi Harsoyo dan teman-teman. Ketika itu, Penulis dan Shafwan Hadi Umri (saat itu penulis dan Shahwan) masih sama-sama mahasiswa di tingkat akhir. Saya di Fakultas Hukum USU, Shafwan di IKIP Negeri Medan. Himpunan Penulis Muda (HPM) yang bermarkas di Jalan Ahmad Yani, kantor Harian Berita Yudha Perwakilan Medan.

HPM begitu aktif menggalang para penulis remaja untuk menjadi cerpenis dan pemuisi. Selain aktif dalam berbagai kegiatan omong-omong sastra dari rumah ke rumah, HPM juga mengadakan berbagai kegiatan lainnya. Tersebutlah Rustam Lubis Djamaksyari aktif di dalamnya.

Tak lama berdirinya HPM, Shafwan menjadi pegawai negeri dan ditugaskan di Tapanuli Selatan sebagai guru Bahasa Indoensia. Bersama Yudhi Harsoyo dan Rustam Lubis Djamaksyari, kami terus menggalakkan sastra masuk sekolah-sekolah. Pada tahun itu juga HPM mengadakan kegiatan di IKIP Negeri Medan Jalan Merba. Ketika itu HPM bekerja sama dengan Dewan Mahasiswa IKIP egeri Medan, menampilkan Damiri Mahmud sebagai pembicara dari HPM dan BP Situmorang dari IKIP Negeri Medan.

Mulanya rektor IKIP Negeri Medan menolak. Drs. B. P. Situmorang yang pernah sebagai pembicara pada Pertemuan sasttrawan Sumut tahun 1977 di Taman Budaya Medan "berduet" dengan Sabarudin Ahmad, BA. Ketika itu, Sabaruddin Agmad masih belum mengambil doktorandusnya.

Perdebatan yang sangat hangat di Taman Budaya Medan yang sebelumnya bernama Taman Bina Budaya Medan (TBBM) bergaung bukan hanya sampai ke Jakarta, bahkan sampai ke negara tetangga di Malaysia. Dengan tegas, ketika itu, B. P. Situmorang mengatakan, sastra kita baru sampai lampu satu, belum berlayar mengharungi lautan bebas ke mancanegara. Di sisi lain BP. Situmorang mengatakan, kalau sastra Malaysia tertinggal 20 tahun dari Indonesia.

Pro-kontra ketika itu sangat tajam. Saat itu, mata Jakarta terbuka karena tajamnya pro-kontra pertemuan itu menghiasi berbagai halaman koran Jakarta, seperti Sinar Harapan (Belum dibreidel dan berganti Suara Pembaruan), Kompas, Berita Yudha, bahkan MBM Tempo yang ditulis oleh Zakaria M Passe.

Mengingat itu, B. P. Situmorang mengajak saya menemui rektor ke ruangannya. Saat itu kebetulan di ruangan rektior ada Dekan FKSS (Fakultas Kejuruan Sastra dan Seni di Unimed sekrang bernama FBS). Drs. B. P. Situmorang meyakinkan rektor, kalau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh HPM adalah kegiatan positif.

Perlu digarisbawahi, ketika itu kampus-kampus yang baru saja tenang dalam berbagai demo, sangat "tertutup" pada komunitas luar kampus. "Kalau Pak Situmorang berani bertanggungjawab, silahkan," ancam rektor ketika itu. Dengan lantang Drsw. B. P. Situmorang mengatakan:" Saya yang akan bertanggung jawab."

Dalam kegiatan di halaman kampus di depan FKSS IKIP Negeri Medan, hadir juga undangan para siswa SMA, termasuk SMA dari Delitua yang dibawa gurunya Angkup Lubis, SH dan kini menjadi hakim tinggi di Jambi. Kegiatan itu pun berlangsung dengan baik dan penuh antusias dari kalangan mahasiswa. Sebelumnya, mereka hanya membaca tulisan yang hadir seperti Damiri Mahmud, A.N. Zaifa, Rahim Qahhar, R. Lubis Djamaksyari dan sebagainay dari kioran saja.

Seperti Koran SIB, Analisa, Waspada, Bukit Barisan dan Bintang Sport & Film (BSF) saja. Kotran-koran tertera di atas saja ketika itu yang aktif terus-menerus mengadakan kolom sastra dan budaya. Walaupun ketika itu BSF dicetak dalam bentuk Letter Press dan bermarkas di Jalan Hindu namun setiap minggunya memuat cerpen dan puisi serta artikel sastra.

Para peminat olahraga yang berlangganan BSF tetap aktif membaca hal-hal sastra. Tak geran jika para pemain tua PSMS, mengenal siapa-siapa sastrawan Sumatera Utara. Pemain tua PSMS bahkan lebih mengenal sastrawan Sumatera Utara ketimbang para guru Bahasa Indonesia ketika itu, karena para pemain PSMS selalu berlangganan BSF.

Kini, sastrawan masuk ke sekolah-sekolah sudah sangat langa terdengar. Guru-guru Bahasa Indonesia di SLTA, sepertinya tidak memikirkan hal itu. Atau mungkin njuga kepala sekolah yang tak terpikir ke arah itu, hingga saat guru Bahasa Indoensia menyampaikan hal itu, kurang mendapat tanggapan.

Sarifuddin Lubis di Binjai, kelihatannya masih terus aktif mengembangkan sastra sekolah. Itu juga nampaknya masih terbatas kepada para siswanya saja. Selaian itu, untung masih banyak juga media yang memiliki kolom remaja dan ada ruang sastranya.

Kalau majalah sastra Horison kita menggalakkan sastrawan masuk sekolah, sebenarnya Sumatera Utara sudah terlebih dahulu melakukannya. Bedanya, mereka mendapat dana dan biaya yang cukup, sementara di Sumatera Utara tidak. Sudah selayaknya para Kepala Dinas Pendikan di Kabupaten/Kota memikirkan hal ini, karena kegiatan inisangat positif kepada para siswa. Idris Pasaribu

Tidak ada komentar: