Oleh : Jannerson Girsang
Sebuah harapan baru dilansir PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) Januari 2010 lalu.
Perusahaan yang mengelola perkeretapian di Sumut dan Aceh ini mengungkapkan rencana membuka kembali jalur Medan-Delitua, Medan-Pancur Batu dan lokasi lain.
Terlapas dari realisai rencana itu, kami tergugah menuliskan pesan kami kepada perusahaan yang menawarkan jasa murah, cepat, efisien dan nyaman ini. Sebuah kisah yang mengagumi, menggunakan, lantas menaruh harapan baru terhadap jasa kereta api.
Semoga bermanfaat menumbuhkan rasa cinta terhadap kereta api serta mendorong pengelola memenuhi harapan yang telah dijanjikan dan meningkatkan pelayanan.
Orang Desa: Kagum Melihat Kereta Api
Memutar memori puluhan tahun lalu, kata kereta api seingat saya masuk ke telinga kami melalui lagu "Naik Kereta Api". Lagu itu diajarkan guru, ketika masih menjadi siswa Sekolah Dasar, akhir dekade 60-an.
Lagu itu benar-benar menggugah hati kami penduduk desa: Bemimpi Naik Kereta Api". Syairnya sederhana, riang dan mudah dinyanyikan. Semua orang Indonesia pasti mampu menyanyikan lagu anak-anak yang sangat populer. Semua orang Indonesia cinta kereta api.
Masa kecil saya tinggal di desa Nagasaribu. Sebuah desa di Simalungun yang terletak di dataran tinggi di apit Gunung Sinabung, Gunung Sibayak, Gunung Singgalang dan Gunung Sipiso-piso. Di sana hanya ada kereta yang ditarik lembu atau kerbau. Selain itu, penduduk desa saat itu masih terbelakang. Mobilisasi penduduk masih rendah. Anak seusia saya yang pernah mengunjungi Pematangsiantar atau Medan masih bisa dihitung dengan jari.
Tahun 1973, ketika saya berusia 12 tahun, itulah pengalaman pertama mengenal kereta api dari dekat. Saat itu kami berdarma wisata dari desa kami melalui Brastagi-Medan-Pematangsiantar. Di beberapa lokasi perjalanan Medan-Pematangsiantar, kami menyaksikan kereta api melintas di atas rel yang kadang sejajar dengan bus yang kami tumpangi. Suatu ketika kami harus berhenti saat kereta api lewat, seperti di Lubuk Pakam.
Pemandangan itu membuat saya dengan siswa lainnya kagum. Puluhan gerbong—beberapa kali lebih besar dari gerobak kereta lembu di kampung kami, bisa mengangkut banyak sekali penumpang. Sesekali kami juga menyaksikan kereta barang yang mengangkut kelapa sawit. Di desa kami kereta yang ditarik dengan kerbau hanya mampu megnagkut 400-500 kg barang dan jarang bawa penumpang.
Di Jakarta: Menikmati Jasa Kereta Api
Anehnya, meski di Sumatera Utara tersedia jasa kereta api, naik kereta api justru tidak saya alami di Sumatera Utara. Peristiwanya tahun 1978, yakni ketika kami pindah sekolah SMA dari Pematangsiantar ke Jakarta.
Saat memasuki hari-hari pertama sebagai siswa pindahan di salah satu SMA di Jakarta, teman-teman saya berbicara tentang kereta api layaknya membicarakan mobil angkutan "Simas", Kabanjahe-Pematangsiantar.
Beberapa orang teman sekelas saya tinggal di Depok. Setiap hari mereka naik kereta api sampai ke Stasion Cikini, lantas naik bus kota ke sekolah kami di sekitar Utan Kayu, Jakarta Timur.
"Naik kereta api ke sekolah?". Bagi saya rasanya tidak masuk akal saya. Pandangan saya ketika itu, kereta api hanya melayani penumpang ke luar kota, Jalannya kencang, dan tidak boleh berhenti. Aduh dasar anak kampung!.
Sampai suatu ketika, saya mengusulkan agar saya bisa ikut teman yang tinggal di Depok. Hanya supaya bisa naik kereta api. Hingga tiba hari yang tepat di suatu Sabtu, saya bisa bersama teman ke Depok. "Naik kereta api!".
Dari sekolah kami di Utan Kayu, naik bus kota menuju Stasion Kereta Api Cikini. Saya tidak bisa membayangkan sebuah stasion kereta api semegah itu. Seolah kerbau dicucuk hidung, saya mengikuti petunjuk teman sekelas tadi. Mulai dari membeli tiket sampai bagaimana caranya menaiki kereta api.
Ongkos kereta api sangat murah karena kami membeli tiket ekonomi atau kelas "balbal". Seingat saya jauh lebih murah dari ongkos bus kota dari Cililitan ke Tanjung Priok. Saya lupa. Mungkin ketika itu Rp 25, sedangkan angkutan kota jauh dekat Rp 50.
Saya memang sedikit kesal, karena tidak mendapat tempat duduk. Seluruh tempat duduk sudah penuh, bahkan seluruh gang kereta api sudah penuh dengan penumpang. Ternyata kereta api yang kami tumpangi sudah penuh sesak oleh penumpang dari dari Stasion kota dan beberapa stasion yang dilintasi kereta api itu.
Teman saya bilang, itu sudah biasa dan bagi mereka sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Saya maklum karena begitu banyak penumpang di Jakarta yang harus diangkut. (Sampai kini, menumpang kereta api ekonomi di Jakarta kondisinya masih sama. Setiap gerbong sudah penuh, bahkan ada yang duduk di atas atap kereta api. Ngeri juga!).
Dengan kereta api ekonomi, Jarak Cikini-Depok ditempuh hanya 20-30 menit. Rasanya terlalu cepat, dan ingin rasanya saya teruskan ke Bogor. Hal yang mustahil tentunya, karena saya sudah janji dengan teman menginap di rumahnya.
Sejak itu, mimpi naik kereta api, berubah menjadi kebiasaan. Penduduk Jakarta menggunakan jasa angkutan kereta api sebagai alat transportasi sehari-hari di wilayah Jabotabek, maupun ke luar kota. Dari Stasion Kota, segala jurusan bisa dituju, ke Tangerang, Rangkas Bitung, Bekasi, Bogor dan lain-lain. Selain itu Jakarta memiliki stasion Gambir yang bisa menghubungkan kereta api ke seluruh penjuru di pulau Jawa.
Kenangan indah naik kereta api pertama itu, tidak bisa kami lupakan. Kalau saya ke Jakarta, saya senang menggunakan jasa angkutan ini. Bulan April 2010 lalu, saya naik kereta api ekonomi Bekasi-Stasion Kota dan Kota-Bogor. Hanya membayar Rp 6000. Jaraknya pasti lebih dari 40 kilometer.
Beberapa tahun sebelumnya saya menggunakan kereta api ekspress Parahyangan (sebelum ditutup) dari Jakarta ke Bandung yang menempuh jarak 180 kilometer. Jarak tempuhnya kurang dari tiga jam. Saya pernah menggunakan jasa kereta api ke Jawa Timur. Lebuh murah, cepat dan nyaman dibanding naik bus.
"Kereta", demikian orang di Jakarta menyebut kereta api, telah menjadi alat angkutan layaknya bus umum. Bisa di dalam kota maupun di luar kota. Relatif murah, tidak macet, dan lebih nyaman dibanding kalau kita naik bus kota.
Di Medan : Mimpi Naik Kereta Api Medan-Pancur Batu
Kini, mimpi puluhan tahun lalu itu sudah berubah. Tidak lagi sekedar melihat kereta api atau naik kereta api. Saya bermimpi suatu ketika bisa menggunakan kereta api sebagai alat angkutan sehari-hari di kota Medan. Selama ini kami menggunakan jasa kereta api ke Rantau Prapat, atau ke Perdagangan (stasion Perlanaan). Cukup menyenangkan.
Sayangnya, di kota Medan sendiri kami sedih menyaksikan rel kereta api Medan-Pancur batu lokasinya tidak jauh dai tempat tinggal kami di Simalingkar, sekarang sudah jadi besi tua, bahkan mungkin sudah diusahai penduduk. Demikian juga di berbagai lokasi lainnya, masih banyak jalur rel yang tidak berfungsi.
Kabar yang menggembirakan meluncur dari Suhendro Budi Santoso di depan wartawan 19 Januari 2010. Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, mengungkapkan: "Mengantisipasi kemacetan lalulintas di Kota Medan sekitarnya, PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) akan kembali membuka jalur rel kereta api yang lama antara lain, Medan-Delitua, Medan-Pancurbatu, dan lain-lain", sebagaiman dilansir oleh berbagai media.
Saya dan anda penduduk Medan berharap ucapan Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, 19 Januari 2010 lalu di depan para wartawan bukan isapan jempol belaka.
Alangkah eloknya, seandainya Medan memiliki jasa angkutan keretas api seperti di Jabodetabek. Medan bisa menghubungkan jalur kereta api tidak hanya Medan-Pematangsiantar atau Rantau Prapat, tetapi juga ke Banda Aceh dan berbagai kota di Sumatera.
Saya yakin harapan yang dijanjikan PT KA itu sedang ditunggu banyak penduduk Medan dan bagian lain pulau Sumatera. Jasa angkutan ini begitu istimewa di mata banyak orang.
Dua harapan pembaca situs: http://rudikurniawandiary.wordpress.com/2008/05/17/kereta-api/, jelas merupakan harapan yang seirama dengan impian para pengguna jasa angkutan kereta api. Ludy Hartono, mengatakan : "saya warga kota kisaran di Sumatra Utara, rasanya menarik sekali menaiki kereta api, cuma, untuk perlintasannya tidak sepanjang di Jawa, mungkin pembangunannya ke depan bisa sampai ke Sumatra Barat, Riau, dan Provinsi lainnya," (Juli 16, 2009 pada 6:30). .
Sementara komentator lain bernama Rudi, mengatakan: "Betul Bang, ada kesenangan sendiri menaiki jenis kendaraan masal ini. Ya mudah-mudahan perkereta apian di negara kita semakin canggih dan profesional. Tidak hanya di Jawa tapi di daerah-daerah lain di seluruh wilayah Indonesia". (Juli 17, 2009 pada 4:03 am).
Semoga terwujud. Namanya juga bermimpi!.***
Sebuah harapan baru dilansir PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) Januari 2010 lalu.
Perusahaan yang mengelola perkeretapian di Sumut dan Aceh ini mengungkapkan rencana membuka kembali jalur Medan-Delitua, Medan-Pancur Batu dan lokasi lain.
Terlapas dari realisai rencana itu, kami tergugah menuliskan pesan kami kepada perusahaan yang menawarkan jasa murah, cepat, efisien dan nyaman ini. Sebuah kisah yang mengagumi, menggunakan, lantas menaruh harapan baru terhadap jasa kereta api.
Semoga bermanfaat menumbuhkan rasa cinta terhadap kereta api serta mendorong pengelola memenuhi harapan yang telah dijanjikan dan meningkatkan pelayanan.
Orang Desa: Kagum Melihat Kereta Api
Memutar memori puluhan tahun lalu, kata kereta api seingat saya masuk ke telinga kami melalui lagu "Naik Kereta Api". Lagu itu diajarkan guru, ketika masih menjadi siswa Sekolah Dasar, akhir dekade 60-an.
Lagu itu benar-benar menggugah hati kami penduduk desa: Bemimpi Naik Kereta Api". Syairnya sederhana, riang dan mudah dinyanyikan. Semua orang Indonesia pasti mampu menyanyikan lagu anak-anak yang sangat populer. Semua orang Indonesia cinta kereta api.
Masa kecil saya tinggal di desa Nagasaribu. Sebuah desa di Simalungun yang terletak di dataran tinggi di apit Gunung Sinabung, Gunung Sibayak, Gunung Singgalang dan Gunung Sipiso-piso. Di sana hanya ada kereta yang ditarik lembu atau kerbau. Selain itu, penduduk desa saat itu masih terbelakang. Mobilisasi penduduk masih rendah. Anak seusia saya yang pernah mengunjungi Pematangsiantar atau Medan masih bisa dihitung dengan jari.
Tahun 1973, ketika saya berusia 12 tahun, itulah pengalaman pertama mengenal kereta api dari dekat. Saat itu kami berdarma wisata dari desa kami melalui Brastagi-Medan-Pematangsiantar. Di beberapa lokasi perjalanan Medan-Pematangsiantar, kami menyaksikan kereta api melintas di atas rel yang kadang sejajar dengan bus yang kami tumpangi. Suatu ketika kami harus berhenti saat kereta api lewat, seperti di Lubuk Pakam.
Pemandangan itu membuat saya dengan siswa lainnya kagum. Puluhan gerbong—beberapa kali lebih besar dari gerobak kereta lembu di kampung kami, bisa mengangkut banyak sekali penumpang. Sesekali kami juga menyaksikan kereta barang yang mengangkut kelapa sawit. Di desa kami kereta yang ditarik dengan kerbau hanya mampu megnagkut 400-500 kg barang dan jarang bawa penumpang.
Di Jakarta: Menikmati Jasa Kereta Api
Anehnya, meski di Sumatera Utara tersedia jasa kereta api, naik kereta api justru tidak saya alami di Sumatera Utara. Peristiwanya tahun 1978, yakni ketika kami pindah sekolah SMA dari Pematangsiantar ke Jakarta.
Saat memasuki hari-hari pertama sebagai siswa pindahan di salah satu SMA di Jakarta, teman-teman saya berbicara tentang kereta api layaknya membicarakan mobil angkutan "Simas", Kabanjahe-Pematangsiantar.
Beberapa orang teman sekelas saya tinggal di Depok. Setiap hari mereka naik kereta api sampai ke Stasion Cikini, lantas naik bus kota ke sekolah kami di sekitar Utan Kayu, Jakarta Timur.
"Naik kereta api ke sekolah?". Bagi saya rasanya tidak masuk akal saya. Pandangan saya ketika itu, kereta api hanya melayani penumpang ke luar kota, Jalannya kencang, dan tidak boleh berhenti. Aduh dasar anak kampung!.
Sampai suatu ketika, saya mengusulkan agar saya bisa ikut teman yang tinggal di Depok. Hanya supaya bisa naik kereta api. Hingga tiba hari yang tepat di suatu Sabtu, saya bisa bersama teman ke Depok. "Naik kereta api!".
Dari sekolah kami di Utan Kayu, naik bus kota menuju Stasion Kereta Api Cikini. Saya tidak bisa membayangkan sebuah stasion kereta api semegah itu. Seolah kerbau dicucuk hidung, saya mengikuti petunjuk teman sekelas tadi. Mulai dari membeli tiket sampai bagaimana caranya menaiki kereta api.
Ongkos kereta api sangat murah karena kami membeli tiket ekonomi atau kelas "balbal". Seingat saya jauh lebih murah dari ongkos bus kota dari Cililitan ke Tanjung Priok. Saya lupa. Mungkin ketika itu Rp 25, sedangkan angkutan kota jauh dekat Rp 50.
Saya memang sedikit kesal, karena tidak mendapat tempat duduk. Seluruh tempat duduk sudah penuh, bahkan seluruh gang kereta api sudah penuh dengan penumpang. Ternyata kereta api yang kami tumpangi sudah penuh sesak oleh penumpang dari dari Stasion kota dan beberapa stasion yang dilintasi kereta api itu.
Teman saya bilang, itu sudah biasa dan bagi mereka sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Saya maklum karena begitu banyak penumpang di Jakarta yang harus diangkut. (Sampai kini, menumpang kereta api ekonomi di Jakarta kondisinya masih sama. Setiap gerbong sudah penuh, bahkan ada yang duduk di atas atap kereta api. Ngeri juga!).
Dengan kereta api ekonomi, Jarak Cikini-Depok ditempuh hanya 20-30 menit. Rasanya terlalu cepat, dan ingin rasanya saya teruskan ke Bogor. Hal yang mustahil tentunya, karena saya sudah janji dengan teman menginap di rumahnya.
Sejak itu, mimpi naik kereta api, berubah menjadi kebiasaan. Penduduk Jakarta menggunakan jasa angkutan kereta api sebagai alat transportasi sehari-hari di wilayah Jabotabek, maupun ke luar kota. Dari Stasion Kota, segala jurusan bisa dituju, ke Tangerang, Rangkas Bitung, Bekasi, Bogor dan lain-lain. Selain itu Jakarta memiliki stasion Gambir yang bisa menghubungkan kereta api ke seluruh penjuru di pulau Jawa.
Kenangan indah naik kereta api pertama itu, tidak bisa kami lupakan. Kalau saya ke Jakarta, saya senang menggunakan jasa angkutan ini. Bulan April 2010 lalu, saya naik kereta api ekonomi Bekasi-Stasion Kota dan Kota-Bogor. Hanya membayar Rp 6000. Jaraknya pasti lebih dari 40 kilometer.
Beberapa tahun sebelumnya saya menggunakan kereta api ekspress Parahyangan (sebelum ditutup) dari Jakarta ke Bandung yang menempuh jarak 180 kilometer. Jarak tempuhnya kurang dari tiga jam. Saya pernah menggunakan jasa kereta api ke Jawa Timur. Lebuh murah, cepat dan nyaman dibanding naik bus.
"Kereta", demikian orang di Jakarta menyebut kereta api, telah menjadi alat angkutan layaknya bus umum. Bisa di dalam kota maupun di luar kota. Relatif murah, tidak macet, dan lebih nyaman dibanding kalau kita naik bus kota.
Di Medan : Mimpi Naik Kereta Api Medan-Pancur Batu
Kini, mimpi puluhan tahun lalu itu sudah berubah. Tidak lagi sekedar melihat kereta api atau naik kereta api. Saya bermimpi suatu ketika bisa menggunakan kereta api sebagai alat angkutan sehari-hari di kota Medan. Selama ini kami menggunakan jasa kereta api ke Rantau Prapat, atau ke Perdagangan (stasion Perlanaan). Cukup menyenangkan.
Sayangnya, di kota Medan sendiri kami sedih menyaksikan rel kereta api Medan-Pancur batu lokasinya tidak jauh dai tempat tinggal kami di Simalingkar, sekarang sudah jadi besi tua, bahkan mungkin sudah diusahai penduduk. Demikian juga di berbagai lokasi lainnya, masih banyak jalur rel yang tidak berfungsi.
Kabar yang menggembirakan meluncur dari Suhendro Budi Santoso di depan wartawan 19 Januari 2010. Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, mengungkapkan: "Mengantisipasi kemacetan lalulintas di Kota Medan sekitarnya, PT KA (Kereta Api) Divre I Sumut dan NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) akan kembali membuka jalur rel kereta api yang lama antara lain, Medan-Delitua, Medan-Pancurbatu, dan lain-lain", sebagaiman dilansir oleh berbagai media.
Saya dan anda penduduk Medan berharap ucapan Kepala Humas PT KA Divre I Sumut dan NAD, 19 Januari 2010 lalu di depan para wartawan bukan isapan jempol belaka.
Alangkah eloknya, seandainya Medan memiliki jasa angkutan keretas api seperti di Jabodetabek. Medan bisa menghubungkan jalur kereta api tidak hanya Medan-Pematangsiantar atau Rantau Prapat, tetapi juga ke Banda Aceh dan berbagai kota di Sumatera.
Saya yakin harapan yang dijanjikan PT KA itu sedang ditunggu banyak penduduk Medan dan bagian lain pulau Sumatera. Jasa angkutan ini begitu istimewa di mata banyak orang.
Dua harapan pembaca situs: http://rudikurniawandiary.wordpress.com/2008/05/17/kereta-api/, jelas merupakan harapan yang seirama dengan impian para pengguna jasa angkutan kereta api. Ludy Hartono, mengatakan : "saya warga kota kisaran di Sumatra Utara, rasanya menarik sekali menaiki kereta api, cuma, untuk perlintasannya tidak sepanjang di Jawa, mungkin pembangunannya ke depan bisa sampai ke Sumatra Barat, Riau, dan Provinsi lainnya," (Juli 16, 2009 pada 6:30). .
Sementara komentator lain bernama Rudi, mengatakan: "Betul Bang, ada kesenangan sendiri menaiki jenis kendaraan masal ini. Ya mudah-mudahan perkereta apian di negara kita semakin canggih dan profesional. Tidak hanya di Jawa tapi di daerah-daerah lain di seluruh wilayah Indonesia". (Juli 17, 2009 pada 4:03 am).
Semoga terwujud. Namanya juga bermimpi!.***
Sumber: analisadaily.com
Gambar: Ilustrasi
4 komentar:
Terakhir jalur kereta api Medan - Delitua beroperasi adalah tahun 1987. Ketika saya kelas 1 SMP di Gg. Satria. Pergi dan pulang menelusuri rel sambil bercengrama dengan teman putra & putri, suasana yang menyenangkan.
Andaikan jalur medan-delitua diaktifkankembali, tentunya delitua akan menjadi kota satelit seperti halnya Bekasi dan Tangerang yang menjadi satelitnya Jakarta.Warga delitua yang bekerja di Medan tidak perlu lagi berserabutan mengendarai motor untuk pergi bekerja. Motor cukup dititipkan di stasiun....
Akan banyak yg bahagia, namun tidak sedikit pula yg akan bersedih karna pembersihan jalur rel yg terlanjur ditempati warga sebagai tempat pemukiman. Butuh puluhan tahun lagi untuk mewujudkan rencana itu.
Permisi saudara- sudari..tapi apakah jalur ITU sampai tahun 2014 Semarang, sudah terealisasi.?
Posting Komentar