http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/m/marwan-batubara/index.shtml
Nama:
Ir. Marwan Batubara, M.Sc
Lahir:
Delitua, Sumatera Utara 6 Juli 1955
Agama:
Islam
Istri:
Cucu Hertruida
Menikah:
Tahun 1981
Anak:
1. Faisal Reza, lahir tahun 1982, kuliah di Jurusan Teknik Material Fakultas Teknik ITB Bandung
2. Fahmi Irfan, lahir tahun 1988, siswa kelas 1 SMU Al Azhar Kebayoran, Jakarta
3. Faris Ibrahim lahir tahun 1998, duduk di bangku TK Al Azhar Kebayoran Lama, Jakarta
Pendidikan:
Sekolah Dasar (SD) di Delitua, tahun 1967
Sekolah Menengah Pertama (SMP di Delitua, tahun 1970
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3, Medan, tahun 1973
D-3, Sekolah Teknologi Telkom, Bandung, 1975-1977
S-1, Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT-UI), Jakarta, 1979-1984
S-2, master di bidang computing dengan gelar M.Sc, dari Monash University, Melbourne, Australia, 1994-1995
Pengalaman Kerja:
Tahun 1974, bekerja sebagi operator di radio swasta Alnora, Medan
Tahun 1977-1981, Teknisi PT Telkom, Jakarta
Tahun 1981-1984, Teknisi Senior PT Indosat, Jakarta
Tahun 1995-2000, Manajer Pembangunan, PT Indosat, Jakarta
Tahun 2000-2004, General Manager (GM) Pembangunan Transmisi, GM Perlengkapan, dan GM Pelayanan Operasi, PT Indosat, Jakarta
Pengalaman Organisasi:
Tahun 1994-1995, Sekjen IKAMA (Ikatan Alumni Australia), Jakarta
Tahun 1992-1997, Pengurus ICMI Orsat Kebon Sirih, Jakarta
Tahun 1998-2001, Anggota Pengurus Yayasan Pengembangan Teknologi Elektro BKE PII, Jakarta
Tahun 2000-2003, Pendiri dan Ketua Serikat Pekerja (SP) Indosat
Kegiatan Sosial:
1. Penggagas pendirian Yayasan Ummat (Ummat Muslim Indosat), membantu memberikan pinjaman modal bagi pengusaha kecil, membantu pembangunan Sekolah Thariq bin Ziad di Bekasi, memberikan bantuan kepada beberapa yayasan pendidikan di Bandung dan Surabaya.
2. Aktif sebagai Ketua Yayasan Tanmia, yang bersama-sama dengan Yayasan DSUQ mendirikan dan mengoperasikan klinik gratis di kawasan-kawasan kumuh seperti di Pulo Gadung, Cilincing, Ancol, Krukut, dan Grogol.
Karya Tulis Buku:
“Stop Penjualan Asset Negara: Data dan Fakta Dibalik Divestasi Indosat”, diterbitkan Badan Penyelamat Asset Bangsa, Jakarta, tahun 2004.
Alamat Rumah:
Jalan Depsos I No. 21, Komplek Depsos RT 005 RW 001 Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan 12330
Marwan Batubara
Aktivis Sosial Jadi Senator
Mantan General Manager PT Indosat ini meraih kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu Legislatif 2004, sebelum menjadi “senator” bahkan jauh sebelum bergelut dalam serikat pekerja, sudah lama bergelut sebagai aktivis sosial. Ia adalah penggagas pendirian Yayasan Ummat (Ummat Muslim Indosat), sebuah yayasan yang banyak membantu memberikan pinjaman modal bagi pengusaha kecil.
Yayasan Ummat antara lain terlibat dalam membantu pembangunan Sekolah Thariq bin Ziad di Bekasi, serta memberikan bantuan kepada beberapa yayasan pendidikan di Bandung dan Surabaya. Marwan juga aktif sebagai Ketua Yayasan Tanmia, yang bersama-sama dengan Yayasan DSUQ mendirikan dan mengoperasikan klinik gratis di kawasan-kawasan kumuh seperti di Pulo Gadung, Cilincing, Ancol, Krukut, dan Grogol.
Lahir di Delitua, Sumatera Utara 6 Juli 1955, Marwan Batubara menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1967 dan SMP tahun 1970 di Delitua. Ia melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 3 Medan. Dengan dibantu seorang pamannya Marwan berhasil menamatkan SMA tahun 1973. Selama setahun ia bekerja di sebuah radio swasta, Alnora, Medan sebagai operator. Pada tahun 1975 Marwan berkesempatan memperoleh beasiswa sekolah kedinasan di PT Telkom, Bandung, selama 2 tahun. Tamat dari sana Marwan bekerja dan ditempatkan di Surabaya tahun 1977.
Pada tahun 1978 Marwan diperbantukan sebagai teknisi pada International Maintenance Center (IMC), Indosat, dan ditempatkan di Jakarta dengan tetap berstatus sebagai karyawan Telkom. Di Jakarta Marwan mencoba mengikuti test masuk perguruan tinggi negeri, ketika itu masih bernama Perintis, dan diterima sebagai mahasiswa baru di Jurusan Elektro Fakultas Teknik Universias Indonesia (FT-UI). Sambil bekerja di IMC, sejak tahun 1979 Marwan mengikuti kuliah dari titik nol. Kuliah dua tahun sebelumnya di Telkom Bandung tak diperhitungkan. Ia menyelesaikan pendidikan dan tamat sebagai insinyur elektro (S1) tahun 1984.
Pendidikan Marwan tak berhenti di situ. Ia kembali menempuh pendidikan tinggi S-2 bidang studi computing di Monash University, Melbourne, Australia pada tahun 1990-1992 hingga memberinya gelar master of science (M.Sc).
Selama bekerja di Indosat, khususnya antara 1993 hingga 2000, Marwan banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan sarana Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) internasional, yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika. Marwan sering mendapat kesempatan menjadi salah satu Co-Chairman dari berbagai Kelompok Kerja perencanaan dan pembangunan SKKL-SKKL. Misalnya pada proyek SKKL Asia Pacific Cable Network (APCN), Jakarta-Surabaya-Australia (Jasuraus), dan South East Asia, Middle East, West Europe (SEA-ME-WE).
Pembangunan SKKL tersebut melibatkan puluhan operator telekomunikasi internasional. Marwan memperjuangkan banyak kepentingan Indonesia di situ. Ia cukup banyak terlibat dalam berbagai negosiasi yang alot. Perjuangan besar itu yang membuat Marwan sangat menyayangkan divestasi. Sebab sebagian hasil perjuangannya bersama kawan-kawan di Indosat menjadi menguap sebab pada akhirnya dinikmati oleh pihak asing dalam hal ini Singapore Tecnologies Telemedia, sebuah anak perusahaan Temasek milik Pemerintah Singapura yang menjadi pemilik baru Indosat.
Marwan menyebutkan proses penjualan Indosat penuh keganjilan. Disebutkannya, perusahaan Singapura itu datang dengan membawa uang pinjaman dari bank untuk membeli Indosat. Begitu dibeli saham Indosat dijaminkan ke bank untuk meminjam uang, hasilnya digunakan untuk membayar pinjaman sebelumnya. “Begitu udah terbeli, sahamnya dijaminkan ke bank lain, mendapat pinjaman, bayar utang tadi, gitu,” kata Marwan.
Dalam buku yang ditulisnya Marwan mengungkap banyak persoalan yang membelit Indosat. Dengan bukunya itu Marwan mempersilakan para pejabat atau instansi yang terkait dengan masalah ini, berinisiatif untuk mem-follow up. Misalnya, kejaksaan atau kepolisian. Termasuk juga anggota DPR yang baru, kepada mereka Marwan berencana akan mendorong untuk melihat dan kembali mereview. Kalau memang ada pelanggaran supaya diperbaiki, dihukum, minimal penjualan dibatalkan seandainya pun susah untuk menghukum orang-orang yang sudah melanggar itu.
“Minimal, kalau ini tidak sah secara hukum penjualannya karena melanggar konstitusi, Tap MPR, atau undang-undang, ya, batalkan saja,” tegas Marwan, mantan Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Australia tahun 1993-1995, dan pengurus ICMI Orsat Kebon Sirih pada tahun 1992-1997.
Indosat menjadi milik Pemerintah RI sejak tahun 1980 ketika dibeli dari ITT-USA. Sejak saat itu pulalah nama Marwan Batubara menjadi tak lekang sebagai karyawan Indosat hingga terakhir kali bekerja pada November 2003, saat ia berinisiatif mengundurkan diri setelah menduduki beragam jabatan general manager. Marwan mundur dari Indosat sebagai respon atas diskriminasi yang ramai menerpa dirinya yang aktivis SP-Indosat.
Dengan mengantongi dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), anak kedua dari delapan bersaudara, ini berjuang menolak penjualan saham PT Indosat ke Singapore Technologies Telemedia (STT), sebuah anak perusahaan asing dari Temasek asal Singapura.
Perjuangan Marwan dalam kapasitas sebagai Ketua Serikat Pekerja (SP) Indosat memperoleh dukungan luas dari ketiga partai ditambah sejumlah elemen mahasiswa dan serikat pekerja lain. Pihak-pihak itulah yang memberikan dorongan kepada suami dari Cucu Hertruida, seorang karyawan PT Telkom yang pernah bersama-sama dengannya mengikuti pendidikan dinas PT Telkom di Bandung, dinikahi tahun 1981, untuk naik jenjang berjuang secara politis sebagai “senator” di arena lembaga politik baru bernama DPD.
Dari pernikahannya dengan Cucu Hertruida asal Bandung, yang masih tercatat sebagai karyawan PT Telkom, Marwan dikaruniai tiga orang anak. Pertama Faisal Reza, lahir tahun 1982, kuliah di Jurusan Teknik Material Fakultas Teknik ITB Bandung. Kedua Fahmi Irfan, lahir tahun 1988, siswa kelas 1 SMU Al Azhar Kebayoran, Jakarta, dan si bungsu Faris Ibrahim kelahiran tahun 1998, masih duduk di bangku TK Al Azhar Kebayoran Lama, Jakarta.
Marwan Batubara yang mulai bermukim untuk pertama kali tahun 1978 di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, itu menikah tahun 1981 lalu menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan Setia Budi Timur, Jakarta Selatan. Ia tetap bermukim di situ hingga tahun 1987, sebelum akhirnya kini menetap di Jalan Depsos, Bintaro, Jakarta Selatan.
Marwan harus mencari strategi lain mengembalikan Indosat ke pangkuan ibu pertiwi, dengan menjadi “senator” setelah aksi pembelalannya mempertahankan aset-aset negara khususnya Indosat berbenturan dengan tembok dinding keras yang tak terbantahkan. Penolakan secara akumulatif muncul dari lingkungan Direksi Indosat, Kantor Menneg BUMN, lembaga politik DPR/MPR, bahkan dari lembaga peradilan yang menolak gugatan actio popularis yang diajukan Marwan bersama 143 orang tokoh masyarakat.
Naik jenjang ke arena politik praktis Marwan pun terpilih sebagai “senator” dan melenggang ke Senayan. Karenanya setelah terpilih Marwan ingin memberi pengaruh kepada Indosat, demi meluruskan berbagai permasalahan yang pernah membelit. Tujuannya, kata Marwan, minimal proses penjualan Indosat bisa dibatalkan. Kata penulis buku “Stop Penjualan Asset Negara: Data dan Fakta di Balik Divestasi Indosat”, ini, ganti pemerintahan baru tak berarti harus melupakan kesalahan pengambilan keputusan yang pernah terjadi di masa sebelumnya, seperti pada Indosat.
Marwan menulis buku untuk menunjukkan kebenaran dan tanggungjawab perjuangannya. Buku itu diterbitkan oleh Badan Penyelamat Asset Bangsa, tahun 2004, isinya ikut ditayangkan di internet agar bisa diakses oleh semua orang di website miliknya, marwanbatubara.com.
Ada skenario besar
Jauh sebelum ramai isu ddivestasi sebagai salah seorang pendiri SP-Indosat bersama kawan-kawan aktivis serikat pekerja lain Marwan sejak tahun 1999 telah lantang menyuarakan sikap tentang pengelolaan telekomunikasi di Indonesia. Ketika itu Marwan sudah sangat khawatir akan dampak pemberlakuan UU Telekomuniaksi No. 36/1999, instrumen yang dapat dipakai untuk mengurangi peran strategis pemerintah di sektor telekomunikasi. Marwan merasakan ada skenario besar yang sedang disiapkan yang hasil akhirnya kelak dapat merugikan bangsa Indonesia.
Marwan menganggap Indonesia harus mempunyai sebuah flag carrier yang kuat, sebagaimana berlaku di seluruh dunia termasuk di negara liberal sekalipun. Indosat dan Telkom yang terpisah tidak kuat untuk bersaing. Selaku Ketua SP-Indosat Marwan Batubara mulai berjuang. Pada tahun 2000 ia mengusulkan agar Indosat dan Telkom digabungkan. Ia berkesempatan mempresentasikan usul tersebut kepada Menko Perekonomian Rizal Ramli dan Menhub Agum Gumelar.
Kekhawatiran Marwan tentang sebuah skenario besar di sektor telekomunikasi yang dapat merugikan bangsa Indonesia akhirnya terkuak. Berdasarkan UU No. 36/1999 pemerintah melakukan pemisahan kepemilikan bersama (joint ownership) pada berbagai bisnis anak perusahaan Indosat dan Telkom. Skenario itu akhirnya berujung pada menjual Indosat kepada pihak swasta dan asing, sesuatu yang berbeda jauh dari pemikiran Marwan bersama aktivis SP-Indosat.
Kepada Direksi Indosat secara langsung baik lisan dan tertulis Marwan menyampaikan sikap menolak divestasi Indosat. Bahkan, bersama SP-Indosat ia mengusulkan solusi alternatif pencarian dana bagi APBN kepada Menneg BUMN, Menkeu, Menhub, dan berbagai pejabat eksekutif hingga legislatif.
Kemudian pada tahun tahun 2002 bersama pengurus SP lain Marwan beraudiensi beberapa kali dengan Deputi Menneg BUMN dan Ketua MPR. Akhirnya Marwan aktif menggalang dukungan dari 143 tokoh masyarakat untuk mengajukan tuntutan actio popularis kepada pemerintah, pada bulan Juli 2003, untuk membatalkan divestasi Indosat. Bersamaan itu ia juga aktif mendatangi pengurus beberapa partai, beberapa fraksi, dan anggota DPR untuk menjelaskan kasus divestasi dan agar membatalkan penjualan Indosat.
Tuntutan actio popularis maupun pengajuan hak angket di DPR terbentur tembok semua. Tuntutan 143 tokoh ditolak Pengadilan Negeri Jakarta, rapat-rapat Bamus Hak Angket Divestasi Indoasat tak pernah mencapai korum. Pada saat yang bersamaan Marwan sudah mulai mengalami tindakan diskriminatif dan kezaliman dari manajemen Indosat. Ia akhirnya memutuskan mengundurkan diri sejak Nopember 2003. Ia merasakan banyak pejabat di lingkungan eksekutif dan legislatif tidak lagi menjalankan tugasnya bagi kepentingan rakyat. Bahkan dirasakan ada beberapa tindakan kebohongan publik atau pembodohan masyarakat dalam rangka menjalankan suatu skenario pesanan oknum tertentu, atau badan-badan internasional seperti IMF atau ADB.
Untuk meraih kursi “senator” DPD Marwan Batubara yang mempunyai ayah seorang guru SD (meninggal tahun 1995) dan seorang ibu rumah tangga biasa (meninggal tahun 2003), didukung secara penuh oleh keluarga. Seluruh keluarga mau dan rela mengurangi waktu dan kesempatan untuk berkumpul bersama, demikian pula kehilangan hari libur bersama. Marwan dalam perjuangannya lebih mencurahkan waktu dan pikirannya untuk konsolidasi Tim Sukses serta bertemu para pendukung, yang biasanya hanya dapat berlangsung pada hari libur Sabtu dan Minggu. Keluarga memang mendukung penuh perjuangan Marwan, mantan pejabat Indosat yang pernah menempati berbagai pos penting General Manager (GM) seperti GM Pembangunan Transmisi, GM Perlengkapan, dan terakhir sebelum mundur GM Pelayanan Operasi.
Marwan Batubara (2)Saya Didukung PKS, PAN dan PKB
TokohIndonesia Dotcom mewawancarai Ir. Marwan Batubara, M.Sc Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta di sebuah sore hari, Minggu 10 Oktober 2004, mengambil sedikit saja waktu jeda di sela-sela shalat ashar saat berlangsung rapat DPD di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI Senayan, Jakarta. Berikut petikannya.
Bagaimana pendidikan dan bentuk pengasuhan orangtua terhadap Bapak, sehingga terbentuk seorang Marwan Batubara seperti yang dikenal banyak orang saat ini?
Kalau bicara masa lalu, didikan orangtua, saya, saya kira sama saja dengan orang-orang kebanyakan. Hidupnya mengalir begitu saja seperti orang-orang lain, terutama dari masyarakat kelas bawahlah. Apa yang bisa dibuat, direkayasa oleh orang-orang dari kelas bawah, itu, saya kira nggak ada, kan. Saya kira sekedar hidup. Orangtuanya sibuk kerja, misalnya, ya, kita ikut bantu-bantu. Orangtuanya misalnya memang tidak punya dana untuk menyekolahkan kita, ya kita mungkin tidak sekolah. Lalu, alhamdulillah waktu itu saya dapat beasiswa.
Jadi, gitu, saya itu sebenarnya sekolah itu sampai SMA, dan bukan cuma orangtua sendiri yang membiayai. Itu ada om saya yang juga membantu untuk saya bisa sampai SMA. Kemudian, ada kesempatan beasiswa dari Telkom di Bandung, waktu itu, untuk sekolah di Telkom, nah saya ikut, lulus tes. Sekolah dua tahun di Bandung lalu penempatan di Jakarta. Sekolah Pengatur Muda, semacam D-3 lah, di Telkom, terus saya ditempatkan di Jakarta.
Ada tes masuk, waktu itu namanya masih Perintis, masuk di Universitas Indonesia (UI), sambil kerja. Kalau nggak sore malam saya kerja, pagi kuliah. Ya, saya mulai dari tingkat satu, jadi nggak dihitung yang di Telkom itu, sampai lima tahun. Tahun 1984 saya lulus Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI.
Dengan menjadi anggota DPD apa visi Bapak ke depan, apakah berkeinginan menjadi Gubernur DKI Jakarta, misalnya?
Visi saya, pokoknya supaya di Jakarta ini kita punya kehidupan yang lebih baiklah, adil, sejahtera, gitu. Kemudian misinya, saya lebih banyak fokus kepada pertama, itu, rakyat miskin, supaya ini dikurangi. Kemudian masalah buruh, lapangan kerja. Kemudian yang ketiga masalah moral pendidikan, supaya ada perbaikan semua. Itu masalah misinya.
Bapak pada Pemilu DPD kemarin disupport oleh PKS, salah satunya, ada relasi apa dengan PKS?
Saya kira bukan partainya tapi kesamaan visi misi saja. Karena saya, waktu sebelum ikut Pemilu itu kan aktif di Serikat Pekerja (SP), terutama terkait Indosat. Nah, penjualan aset negara itu kan memang banyak partai yang nggak setuju. Mulai dari PKS, PAN, PKB, terus juga mahasiswa, serikat pekerja, serikat buruh. Nah, merekalah yang selama ini banyak bekerja sama dengan Serikat Pekerja Indosat, waktu itu, yang membantu supaya itu tidak jadi dijual.
Nah, dengan kesamaan visi misi ini lalu mereka mendorong saya untuk ikut Pemilu. Saya sendiri juga di Indosat ada mengalami diskriminasi. Manajemen itu tidak ingin saya terus di sana, gitu. Saya sendiri, kalau memang suasananya tidak kondusif, untuk apa saya terus bekerja di sana.
Nah, kebetulan memang mahasiswa, terutama mahasiswa dan partai, itu yang paling banyak melakukan penolakan itu ya dari PKS, PAN, PKB. Kalau anda baca buku yang saya tulis, yang banyak menandatangani aksi apopularis, tuntutan semacam class action, ya, dari tiga partai itu. Jadi tidak hanya dari PKS. Tapi memang saya didukung PKS, PAN, PKB, gitu.
Sebenarnya, apa sih persoalan di Indosat sampai terjadi friksi yang begitu dalam, sebab ada juga terdengar counter attack terhadap itu?
Kalau soal itu, makanya saya bilang, baca saja yang saya tulis itu. Di web itu cukup lengkap.
Pak Marwan sebagai orang dalam sangat memahami persoalan Indosat. Ada juga sinyalemen bahwa ada pihak-pihak lain yang selama ini kebagian dari Indosat, setelah terjadi privatisasi menjadi tidak kebagian?
Makanya saya bilang, saya tidak bicara itu, saya tidak membahas itu. Saya bicara objektif saja. Bacalah itu. Nanti kalau anda kurang, boleh. Tapi jangan dibawa-bawa bahwa itu, ‘wah, ini orang ini, wah ini orang iri’, nggak ada. Saya nggak punya kepentingan itu.
Saya tidak ada selama ini mendapat keuntungan dari Indosat tidak dijual. Saya cuma karyawan biasa, dan di dalam itu bersih. Lalu, setelah dijual saya berkurang ininya, saya kira nggak. Coba dibaca yang saya tulis. Apa yang saya tulis di situ. Bukunya sudah sempat baca, belum? Oke, nanti ada bukunya saya boleh kasihlah satu. Nah, di situ bisa jelas apa sebetulnya masalahnya sampai 143 tokoh itu tandatangan, melakukan aksi apopularis tadi.
Apa yang dimaksud, aksi apopularis?
Aksi apopularis itu tuntutan supaya itu dibatalkan, semacam class action.
Pak Marwan ada komentar atau bantahan, seperti tadi saya katakan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang selama ini memperoleh keuntungan dari Indosat, tapi setelah terjadi privatisasi menjadi tidak lagi kebagian ‘kue’?
Itu cuma alasan yang dibawa oleh Pemerintah terutama Laksamana. Dia suka usung itu. Ya, mungkin itu ada tapi saya kira di Indosat itu tidak ada. Justru yang membuat banyak intervensi ke dalam itu orang-orang yang ditempatkan sebagai komisaris di Indosat. Dan komisaris itu umumnya dari Pemerintah, gitu.
Kalau orang di dalam itu ya profesional semua. Misalnya, yang saya ingat, ini tolong kalau anda mau tulis, Laksamana mengarahkan supaya pemenang konsultan hukum waktu penggabungan Satelindo, Indosat, dan IM3, setahun setelah dijual itu kan akan digabung, di-merge. Konsultan hukumnya itu akhirnya ditunjuk satu perusahaan, dan itu ditunjuk atas dasar tekanan dari kantor Menneg.
Saya sendiri waktu itu ikut dalam proses tender. Saya melakukan bahwa yang menang adalah ini. Nah, saya lupa namanya, Merry Darsa, dia yang menang, nomor satu. Dipaksa supaya ini jangan menang, yang menang nomor dua. Dengan cara apa? Caranya nomor dua itu dinegosiasi, dibuat supaya harganya turun, nomor satu tidak dikasih kesempatan untuk diturunkan harganya. Jadi, itu nggak fair.
Nah, disana kalau anda mau siapa yang punya kepentingan, yang punya kepentingan saya lihat itu orang Pemerintah. Sama juga waktu konsultan keuangan. Konsultan keuangan waktu itu yang menang adalah triple EEE dengan perusahaan Belanda. Mereka yang menang. Nah, di sana manajemen berusaha supaya yang menang itu yang lain, saya sudah lupa (namanya). Waktu itu saya sebagai general manager perlengkapan.
Nah, mereka berupaya supaya jangan dia yang menang karena ada kepentingan di belakangnya. Dan yang memaksa itu bukan orang Indosat, bukan orang-orang yang kalau dikatakan kita punya kepentingan, nggak ada. Yang punya kepentingan itu Kantor Manneg supaya jangan si triple EEE ini yang menang. Padahal prosesnya sudah dilakukan secara objektif. Saya bertahan, akhirnya itu nggak berhasil. Tapi yang konsultan hukum itu berhasil, karena apa, saya dipindahkan dulu.
Nah, jadi siapa yang meniup-niupkan itu anda harus cek juga, jangan mempercayai itu. Tapi yang jelas, bacalah yang saya tulis, itu semuanya saya bisa pertanggungjawabkan karena saya berani itu di-publish. Saya tidak sembunyi-sembunyi.
Tapi, isunya ada juga yang mengatakan bahwa Indosat telah dijadikan sapi perahan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu, di luar Pemerintah yang Bapak sebutkan itu?
Kalau bicara sapi perah Pemerintah atau kelompok-kelompok tertentu, yang memerah itu ya tadi yang saya bilang, kantornya Laksamana, Kantor Menneg, gitu. Tidak ada yang lain. Isunya seperti apa yang anda dengar, coba dicek, gitu.
Bapak Marwan di Indosat sudah GM tinggal selangkah menjadi direksi, dan kalau di anak perusahaan sudah setingkat Dirut?
Saya waktu itu juga sudah pernah ikut fit and proper (test), jadi soal income saya kira saya sudah lumayanlah, kalau dibanding di sini (DPD).
Tapi isunya kan bukan itu. Saya melihat ini banyak pelanggaran. Kalau kita diam artinya kan kita setuju dengan pelangaran itu. Mungkin ada orang yang tidak setuju, tapi dia merasa tidak berdaya atau tidak berani, ya itu kita hargai. Kalau saya nggak. Saya pikir saya harus ungkap ini makanya saya tulis itu. Saya juga adakan gerakan mengkoordinir demo aksi-aksi, nulis surat, lewat Serikat Pekerja itu.
Apa sebelumnya sudah lama aktif di Serikat Pekerja?
Saya juga ikut mendirikan, salah satu pendiri tahun 2000.
Bapak Marwan sudah punya bakat sebagai politisi, jauh-jauh hari?
Bukan, masalahnya bagi saya bukan soal politisi atau tidak. Prinsip saya sebetulnya saya tidak mau membatas-batasi bahwa ini politik ini bukan. Karena kita ini kan hidup, hidup ini kan menghadapi semua aspek kehidupan.
Nah, kalau nanti anda pisah-pisahkan ini politik ini nggak, lalu anda diam, itu salah kan? Misalnya, anda tinggal di tempat yang tidak jauh dari tempat yang akan digusur. Anda tahu bahwa penggusuran ini salah. Tapi karena ‘ah, ini kan politik, saya nggak mau ikut’, maka tergusurlah orang-orang kecil itu, apa anda terima itu? Saya kira nggak, kan? Anda pasti, kalau memang kita bicara hati nurani, itu apapun masalahnya, masalah pemerintahan, masalah DPR, masalah pendidikan, masalah di perusahaan, itu semuanya bagi saya kalau memang itu kita tahu, kita melihat ada yang tidak benar, ya kita tolak. Kalau ada yang memang baik ya kita dukung, kan gitu.
Jadi, saya tidak melihat itu politik atau tidak politik, pokoknya semua kehidupan itu semua aspeknya sama saja.
Sekarang, setelah menjadi anggota DPD apakah Bapak masih berkeinginan memberikan influence kepada Indosat?
Saya bukan soal influence kepada Indosat. Tetapi, bagaimana kalau memang di sana ada pelanggaran, dan memang saya lihat itu ada pelanggaran, itu tidak bisa dilupakan saja dengan bergantinya pemerintahan.
Namaya salah ya tetap salah harus ada hukumannya, ada semacam sanksi, ya kan? Apa memang kita biarkan? Jadi, nanti setiap ada pemerintah baru dia melakukan banyak hal yang melanggar, lalu ganti pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintahan yang lama dibiarkan begitu saja, saya kira nggak begitu, ya, kan? Semua yang berbuat dia harus bertanggungjawab.
Jadi, Bapak masih ingin meluruskan persoalan Indosat?
Oh, iya, iya, jelas, jelas. Minimal saya sudah menulis buku. Saya sudah mengungkap itu, silakan pejabat-pejabat atau instansi yang terkait dengan masalah ini mem-follow up. Misalnya kejaksaan, ‘oh, ini ada pelanggaran ini’, mereka periksa. Polisi misalnya, ‘oh, ini ada…’ apalah yang memang terkait dengan hal-hal yang melanggar, lihat, coba di-follow up.
Termasuk juga di DPR. Saya juga akan dorong DPR-DPR yang baru ini untuk melihat kembali me-review kalau memang ada pelanggaran supaya diperbaiki, dihukum, minimal dibatalkan seandainya pun susah untuk menghukum orang-orang yang sudah melanggar itu. Minimal, kalau ini tidak sah secara hukum penjualannya karena melanggar konstitusi, Tap MPR, atau undang-undang, ya batalkan saja.
Karena saya lihat di Singapura sendiri, yang namanya penggunaan SPV, special purpose vehicle, jadi, kendaraan dengan tujuan khusus namanya dalam bisnis, itu katanya di dalam bisnis kalau menurut (Bacelius) Ruru atau Kantor Menneg itu hal yang biasa. Padahal di Singapura sendiri itu hal yang dilarang. Di negaranya dilarang tapi di negara lain dia terapkan, ya kan? Nah, kalau di kita sebaliknya, kenapa mau dibohongin?
Jadi, kasusnya itu. Apa yang disebut sebagai SPV itu adalah, waktu tender misalnya, Indosat itu datanglah delapan. Katakan mula-mula 14 lalu delapan, delapan perusahaan yang disaring, kemudian tinggal empat, yang akhirnya nanti dari empat inilah akan dipilih siapa pemenangnya. Itu, dari awal misalnya perusahaan A, B, C, D, lalu dipilih diproses ketemu pemenangnya B, misalnya.
Begitu mau tandatangan yang tandatangan bukan si B yang ditunjuk pemenangnya, tapi B ini nanti menyebutkan dia punya anak perusahaan yang namanya X. Nah, si X inilah yang akhirnya tandatangan dengan pemerintah, lalu X ini disebutkan didirikan di Morisius. Memang itu, nah, ini kan sudah menipu.
Siapa yang memiliki X ini, apakah cuma B, atau ada orang-orang oknum-oknum lain di sini, yang itu bisa mengakibatkan misalnya pemilik lama atau orang-orang konglomerat di sini itu bisa. Bukan pemilik lama, ya, tapi konglomeratlah, katakan di Indonesia, atau penjahat, atau siapa yang bisa memiliki perusahaan X itu. Bukan cuma si A, si B yang menang itu. Nah, ini suatu pelanggaran yang saya kira perlu diusut.
Kita bicara tentang DPD, sebuah lembaga baru dalam peta politik nasional. Bagaimana pandangan Bapak Marwan DPD bisa memberikan pengaruh dalam perpolitikan nasional?
Saya kira yang penting kita harus menunjukkan contoh. Kita bisa berbuat sesuatulah, untuk kebaikan kehidupan rakyat atau negara kita atau bangsa kita.
Dengan cara minimal kita bisa hidup hemat, gitu ya. Kita tunjukkan kita ada perhatian, dan bisa membantu orang miskin, berusaha untuk membuat kehidupan moral pendidikan lebih baik, atau bagaimana mendorong supaya lapangan kerja atau buruh bisa diberdayakan.
Nah, ini memang bisa saja bukan wewenang langsung DPD yang diatur UU. Tapi minimal kita coba mengupayakan itu. Yang lain lagi, saya kira kita juga akan berusaha supaya wewenang DPD itu tidak sekedar memberikan masukan, memberikan pertimbangan, atau pengawasan yang tidak jelas kepada lembaga pemerintah lain. Pertimbangan kepada DPR misalnya, atau usulan undang-undang kepada DPR, tapi lebih dari itu kita harapkan juga terlibat dalam mengambil keputusan.
Jadi, tidak seperti yang sekarang diatur oleh UU Susduk hanya sekedar mengusulkan pertimbangan dan budgeting, gitu. Jadi, ada hal-hal yang memang menjadi program di parlemen atau di institusi. Tapi, ada juga program-program yang meskipun tidak diatur UU itu kita bisa berbuat sesuatu yang nyata bagi masyarakat.
Yang nyata itu ya itu tadi, saya sebutkan, bagaimana yang miskin itu bisa dibantu. Ya, bisa saja kita mengkoordinir bantuan dana dari perusahaan atau konglomerat untuk kita bisa salurkan kepada rakyat, terutama masyarakat miskin kota, misalnya. Ini hanya contoh saja, mungkin agak sulit untuk diimplementasikan tapi kita coba berusahalah ke sana, hal-hal praktis yang mungkin bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dalam pembicaraan-pembicaraan hingga saat ini, porsi-porsi kewenangan apa yang diinginkan DPD?
Saya kira tidak terlalu jauh, ya, masih sama dengan sekarang. Mungkin hanya lima aspek. Masalah otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, sumber daya alam, masalah yang terkait dengan pemekaran wilayah, masalah tentang pendidikan, agama, pajak, ya sekitar itu saja. Jadi kalau dihitung itu itemnya, mungkin hanya sembilan, ya. Dan dari sembilan itu mungkin hanya lima yang sifatnya itu terkait dengan legislasi.
Nah, yang kita inginkan, supaya dalam lingkup yang lima atau sembilan tadi kita juga ikut menetapkan, tidak hanya mengusulkan. Dan itu saya kira yang diusulkan oleh Komisi Konstitusi. Jadi, bukan juga semua aspek kehidupan di Indonesia ini, yang memang dihandel oleh DPR, yang kita juga ingin handel. Saya kira tidak sampai seluas itu.
Kalau DPR mungkin ada 20 item lebih, mulai dari pendidikan, agama, sosial, hankam, kelautan, terus perhubungan, anda sebutkanlah apa saja aspek kehidupan yang diatur di negara ini diatur oleh DPR. DPD tidak sampai ke sana. Cuma yang ada sekarang perannya itu tidak sekedar mengusulkan, tapi juga ikut menetapkan, sama seperti DPR.
Nanti, area bermainnya DPD ini lebih berpusat di pusat atau di daerah?
Ada waktunya di pusat, dan akan kebanyakan di pusat, dan ada juga waktunya di daerah. Itu, sama seperti DPR kalau reses.
Bukankah semestinya lebih baik lebih banyak di daerah?
Itu tergantunglah. Jadi, saya kira bisa saja, kalau memang dibutuhkan ke sana. Yang penting kan wewenang tadi, bahwa kita bicara lima atau sembilan aspek, itu sesuai dengan yang diatur UU itu bisa kita hasilkan secara optimal untuk bisa dirasakan oleh masyarakat di seluruh Indonesia, di daerah terutama.
Kalau boleh tahu, apa visi politik Bapak Marwan dalam tempo lima atau 10 tahun ke depan?
Saya kira visinya itu, saya kira samalah. Saya tidak bicara terlalu banyak dan kita tidak bisa juga… Kalau yang namanya visi itu kan semacam cita-cita, cita-cita itu bagaimana supaya masyarakat ini merasakan keadilan, kesejahteraan.
Bapak Marwan seorang Batak tapi menjadi anggota DPD justru dari Jakarta. Ini, bagaimana cerita keluarga Bapak?
Iya, saya kira karena saya tinggal di Jakarta, dan saya kira karena latar belakangnya tadi sudah saya sebutkan. Karena kesamaan visi dan misi dengan beberapa unsur masyarakat, apakah itu partai dan mahasiswa terutama, dan juga Serikat Pekerja dalam kasus Indosat. Kita waktu itu sama-sama bergerak menolak penjualan aset-aset negara.
Nah, dari sana terus saya didorong untuk lebih aktif di bidang ini, masuk ke DPD karena memang pada saat bersamaan saya tidak disukai lagi di Indosat, saya pun merasa tidak nyaman bekerja dalam kondisi adanya diskriminasi di dalam. Itu sebetulnya latar belakangnya. Saya lahir di Deli Tua, Sumatera Utara, saya sejak tahun 1978 di Jakarta.
Bentuk diskriminasi yang bapak maksudkan, dirasakan seperti apa?
Ya, misalnya kan kita dari yang aktif di Serikat Pekerja itu ada yang dipindahkan ke daerah, bonus kita dipotong nggak tahu alasannya apa, kerjaan tidak dikasih, kita punya jabatan tapi tidak ada kerjaan, misalnya, ada kesempatan-kesempatan kita tidak diajak padahal GM lain diajak juga dikasih kesempatan, kita tidak, seperi itu.
Jaman siapa dirutnya, Bapak Hari Kartana atau siapa?
Tidak, Pak Hari saya kira dia bisa mengerti, kita sama-sama mainkan peran, dia sebagai manajemen kita sebagai serikat pekerja. Dan kita bukan menyerang mereka, kok, bukan menyerang manajemen. Kita, yang kita… juga ini bukan masalah serang-menyerang, masalah ingat-mengingatkan bahwa ini melanggar konstitusi, ini melanggar undang-undang, tolong jangan dijual. Nah, kita ingin mengingatkan pemerintah.
Jadi, kalau jaman Pak Hari nggak. Cuma jaman Widya Purnama, orang yang memang waktu sebelum dia menjadi direksi dia sendiri ikut membantu dana untuk Serikat Pekerja, termasuk juga Hasnul Suhaemi, itu juga ikut membantu.
Ini pertanyaan terakhir, bisa diceritakan perjalanan karir profesionalisme Bapak?
Saya, sebetulnya tadi saya sebutkan, mulai kerja itu tahun 1977, waktu itu masih Telkom. Januari 1978 saya pindah ke Jakarta, saya mulai sebagai teknisi, kemudian saya ada kesempatan kuliah tahun 1979 hingga 1984. Begitu lulus saya saya dapat kepala seksi, kemudian dua tahun saya kepala urusan.
Tahun 1990 saya dapat kesempatan beasiswa sekolah di Australia untuk master di bidang computing, dua tahun. Lalu tahun 1992 saya pulang, tahun 1993 saya naik jadi manajer. Tahun 1999 saya naik jadi General Manager (GM), gitu. General Manager saya yang pertama sebagai GM Pembangunan Transmisi, kemudian waktu Widya (Purnama) Dirut saya jadi General Manager Perlengkapan, gitu.
Cuma belakangan, karena mereka tidak leluasa dengan program-program yang diminta oleh Laksamana, ya kan, saya lalu dipindah, ditaruh ditempat yang memang tidak diperlukan sebetulnya itu. Saya General Manager di yang namanya itu Pelayanan Operasi. Itu, kalau ditutup juga nggak masalah bagi Indosat, gitu.
Oke, ada lagi yang ingin Bapak tambahkan?
Saya sebetulnya berharap teman-teman di media bisa saling membantu kalau kita bicara tentang kebaikan kebenaran bagi semua masyarakat. Kalau bicara soal adanya pelanggaran-pelanggaran, saya juga berharap media itu bisa membantu sehingga pelanggaran hal-hal yang jelek itu bisa diungkap, bisa dihentikan.
Saya juga berharap teman-teman di media itu bisa mandiri, tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan di luar dari kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, dan jelas, dan baik.
2 komentar:
ASSAMUALAIKUM BANG MARWAN BATUBARA : SAYA ABDUL JABBAR YOESOEF SAAT INI SUDAH MENULIS BUKU BERJUDUL : FUNGSIKAN SURVEYOR JANGAN BIARKAN ASING KURAS TAMBANG KITA.
PENERBIT GRAMEDIA
MOHON KOMENTAR BANG MARWAN BATUBARA
ALAMAT EMAIL : abdul@sucofindo.co.id
HP. 081360715689
abang bisa gak komentari buku saya,yang berjudul "fungsikan surveyor jangan biarkan asing kuras tambang kita"
karena penerbit gramedia berharap ada tenaga ahli tambang yang bisa membuat komentar tentang isi buku tersebut sebanyak 3,5 halaman.Sebab penerbit berencana untuk memuat di harian kompas.
terima kasih sebelumnya atas bantuan abang,wasalam
Posting Komentar