Sumber: http://apakabarsidimpuan.com/
(Senyum Pahit Si Bule)
Oleh: Rizal R Surya.
SIANG itu udara di Kota Medan sangat panas sekali. Menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) suhu udara
mencapai 34 derajat celsius. Panasnya suhu udara ini, menjadi bertambah panas akibat suara klakson yang berbunyi sahut menyahut tiada henti.
Saat itu lampu pengatur lalulintas yang berada di persimpangan jalan Jalan Ahmad Yani/Jalan Balaikota memang tidak berfungsi akibat listrik padam. Hal ini mengakibatkan kemacetan yang lumayan panjang. Saat lampu pengatur lalulintas berfungsi dengan baik, di persimpangan jalan biasanya petugas selalu berjaga. Tapi sebaliknya ketika lampu pengatur lalulintas tak berfungsi akibat listrik padam biasanya, petugas tidak ada. Pertanyaannya, bukankah petugas lebih dibutuhkan saat lampu pengatur lalulintas mati daripada saat berfungsi? Tapi inilah kenyataannya.
Di Medan sendiri (sebenarnya di daerah lain di Provinsi Sumatera Utara juga) lampu sering padam. Kalau dokter biasanya menganjurkan pasien makan obat tiga kali sehari, lampu bisa mati empat kali sehari. Bayangkan bagaimana mendeitanya rakyat di provinsi ini!
Di tengah kemacetan arus lalulintas, terlihat sepasang turis asing berdisi di pinggir jalan. Mereka terlihat ingin menyeberang, namun tidak berani. Penulis yang kebetulan berada di dekat sepasang turis ini, menyarankan mereka untuk menyeberang. Namun mereka tidak berani. Sambil setengah memaksa, penulis menggandeng sekaligus memandu mereka melewati sela-sela kendaraan yang tidak henti-hentinya tetap membunyikan klaksonnya.
Setelah berhasil menyeberang jalan kami berkenalan. Rupanya kedua sepasang turis ini berasal dari Spanyol tepatnya Kota Barcelona. Pantas saja bahasa Inggris-nya tidak begitu lancar seperti juga bahasa penulis. Jadilah kami berbahasa Inggris ditambah bahasa Tarzan. Untungnya kesebelasan favoritnya sama dengan penulis. Jadilah kami membicarakan Messi, Neymar, Puyol, Pique, Xavi, Iniesta, Alexis dan lainnya.
Dia heran ketika saya tahu semua nama pemain Barcelona sampai dengan pemain cadangan. Namun dia bertambah heran ketika saya tidak kenal siapa-siapa nama pemain tim nasional (timnas) senior Indonesia. Saya akui pemain timnas senior Indonesia saat ini tidak saya kenal. Paling-paling saya hanya tahu Bambang Pamungkas, itupun sudah tidak dipanggil masuk timnas senior. Saya lebih kenal pemain timnas U-19 seperti Evan Dimas, Maldini Pali dan lainnya.
Di samping heran saya tidak kenal pemain timnas, dia juga heran melihat seringnya listrik mati di Sumut. Dia sudah hampir dua minggu keliling Sumut dan mendapati fakta yang hampir sama. Lampu mati dan jalan rusak!
Dia menunjuk sinar matahari yang bersinar dengan teriknya sepanjang hari. Bukankah sinar matahari merupakan energi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Dia juga membaca surat kabar banyaknya gunung api di republik ini seperti Sinabung dan Kelud yang sedang erupsi. Bukankah panas bumi bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. “Saya baca di internet bukankah banyak orang pintar di negeri ini. Ada ahli pesawat yang diakui dunia (dia menyebut BJ Habibie), ada ahli astronomi yang menjadi kepala astronomi di Jerman dan banyak lagi yang tersebar di luar negeri. Kenapa mereka ini tidak dimanfaatkan?” Tanyanya.
Kemudian dia melanjutkan ceritanya ketika berjalan-jalan ke Danau Toba dan Berastagi. “Setahu saya sejak zaman Belanda sampai dengan saat ini lebar jalan menujuDanau Toba dan Berastagi tidak bertambah-tambah. Kenapa sudah hampir 70 tahun merdeka dengan peralatan yang serba canggih seperti saat ini, bangsa Indonesia tidak bisa memperlebar jalan yang sangat vital? Dulu saja Belanda dengan peralatan minim bisa membuka akses hutan dan sebagainya,” ungkapnya.
Terakhir ia menceritakan perjalanannya ke ‘Old Medan’ (Deli Tua maksudnya). Dia menjumpai rumah-rumah yang berdiri di atas rel kereta api. “Kereta api itu vital dalam sistem transportasi massal. Maka rencana membangun jalur kereta api Trans Sumatera sangat baik. Tapi saya tidak yakin segera terwujud karena memelihara yang ada saja sulit. Lihatlah jalur Medan ke Old Medan saja dulu zaman Belanda ada, tapi sekarang dibiarkan saja, bahkan di atasnya sudah berdiri rumah. Saya kira kalau Belanda dibiarkan lebih lama menjajah, pasti negara Anda bisa lebih maju,” ujarnya.
Mendengar celotehan si Bule ini sudah mendidih amarahku. Mau kuusir saja di dari permukaan bumi Indonesia. Tapi sebelum amarah ini kumuntahkan, tiba-tiba melintas pikiran dalam kepalaku. Betul pula kata si Bule ini. Kita sudah hampir 70 tahun merdeka dan hidup pada zaman serba canggih, tapi untuk memperlebar jalan ke Danau Toba atau Berastagi saja sulit. Mau membangun jalur kereta api Trans Sumatera, tapi mengurus yang ada saja sulit.
Harus saya kuakui, meski pahit tapi apa yang dikatakan si Bule ada benarnya. Akui yang benar meski pahit!
bangsa Indonesia tidak bisa memperlebar jalan yang sangat vital? Dulu saja Belanda dengan peralatan minim bisa membuka akses hutan dan sebagainya,” ungkapnya.
Terakhir ia menceritakan perjalanannya ke ‘Old Medan’ (Deli Tua maksudnya). Dia menjumpai rumah-rumah yang berdiri di atas rel kereta api. “Kereta api itu vital dalam sistem transportasi massal. Maka rencana membangun jalur kereta api Trans Sumatera sangat baik. Tapi saya tidak yakin segera terwujud karena memelihara yang ada saja sulit. Lihatlah jalur Medan ke Old Medan saja dulu zaman Belanda ada, tapi sekarang dibiarkan saja, bahkan di atasnya sudah berdiri rumah. Saya kira kalau Belanda dibiarkan lebih lama menjajah, pasti negara Anda bisa lebih maju,” ujarnya.
Mendengar celotehan si Bule ini sudah mendidih amarahku. Mau kuusir saja di dari permukaan bumi Indonesia. Tapi sebelum amarah ini kumuntahkan, tiba-tiba melintas pikiran dalam kepalaku. Betul pula kata si Bule ini. Kita sudah hampir 70 tahun merdeka dan hidup pada zaman serba canggih, tapi untuk memperlebar jalan ke Danau Toba atau Berastagi saja sulit. Mau membangun jalur kereta api Trans Sumatera, tapi mengurus yang ada saja sulit.
Harus saya kuakui, meski pahit tapi apa yang dikatakan si Bule ada benarnya. Akui yang benar meski pahit!
*Penulis wartawan Harian Analisa dan pengelola Warung Baca Dia’fa, Marindal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar